Mimpi Saya Menjadi Seorang Santri
Mimpi Saya Menjadi Seorang Santri |
Dua belas tahun berlalu akhirnya mimpi itu bisa terwujudkan.
Saya Sukma Kurniawan yang sekarang masih duduk di bangku kuliah semester 12
prodi Matematika Universitas Negeri Yogyakarta akhirnya bisa mendapatkan
kesempatan untuk bisa menjadi seorang santri. Memori masa lalu yang agak kabur
itu terulang. Dimana saya dengan polosnya meminta untuk bisa melanjutkan ke pondokan.
Entah apa yang akan terjadi jika waktu itu sudah bisa menjadi seorang santri. Mungkin bisa lebih terjaga dari segala maksiat dan keburukan karena pergaulan yang mendukung. Atau akan menjadi
seperti apa, saya tak tahu. Tapi tak perlulah untuk berandai-andai.
Ketika mendaftarkan diri menjadi seorang santri tidak luput untuk saya beritahukan ke Ibu karena memang di keluarga kami
terbuka untuk adanya diskusi. Terutama saya sendiri sudah menjadi seorang mahasiswa. Antara orang tua dan anak bisa mengobrol dengan santai. Sedangkan kepada Bapak tidak karena Bapak sudah
meninggal tepat satu tahun yang lalu di bulan Januari. Bulan yang sama ketika
saya mendaftarkan diri menjadi seorang santri. Semoga Bapak diterima
di tempat terbaik di sisi Allah.
Kabar itu saya sampaikan melalui pesan singkat dan ibu saya
pun merespon. Isi pesan singkatnya kurang lebih seperti ini, yang mana sudah
saya ubah ke bahasa Indonesia: Jadi santri dimana? Jangan ikut aliran-aliran
yang aneh-aneh. Begitulah jawaban pesan singkat ibu saya dan setelah saya jawab
“di UNY”, Ibu saya pun meng-iyakan tanda setuju dan berpesan untuk tidak meninggalkan
tanggung jawab di perkuliahan yang tinggal menempuh skripsi.
Kedua orang tua saya melarang saya waktu itu menjadi santri
mungkin punya alasan tertentu. Tapi yang pasti bukan karena dilarang untuk belajar
agama. Buktinya ketika duduk di bangku TK dan SD saya diikutkan di dua tempat
ngaji yang berbeda. Saya tidak dilarang untuk belajar agama di sekolah. Saya
tidak dilarang ketika mengikuti kajian di masjid di dekat rumah. Saya pun juga
tidak dilarang ketika mengikuti kajian di suatu tempat yang butuh waktu tempuh
perjalanan berjam-jam.
Saya memang bukan menjadi santri disuatu pondok pesantren.
Namun menjadi santri di sebuah lembaga yaitu Lembaga Pendidikan Islam Muhajidin
(LPIM) UNY. Yaitu sebuah lembaga yang berada di masjid Muhajidin. Masjidnya
kampus UNY. Walaupun demikian, tidak membuat saya lepas dari rasa bahagia. Ada
empat kelas yang bisa diikuti dengan biaya pendaftaran yang beragam. Kelas
pertama adalah kelas bahasa Arab untuk mengenalkan kosakata, percakapan dan
kaidah bahasa Arab. Kitab yang digunakan adalah Durusu Lughah.
Kelas kedua adalah Tahsinul Qur’an untuk memperbaiki bacaan
Al-Qur’an dengan metode yang digunakan adalah qiro’ati. Kelas ketiga adalah
kelas Hifdzil Quran yaitu kelas untuk para penghafal Al-Qur’an dengan target
yang dihafal adalah surat Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, juz 28,29 dan 30. Kemudian
kelas yang terakhir adalah Madrasah Tulabiyah yaitu pendalaman kajian
keislaman. Pada kelas Madrasah Tulabiyah sendiri masih dibagi menjadi tiga
kelas yaitu MT1, MT2 dan MT3. MT1 berisi tentang ilmu Al-Quran dan ilmu Hadits.
MT2 berisi qa’idah fiqh dan strategi dakwah sedangkan MT3 berisi tentang fiqh
dakwah/ budaya ilmu. Setiap santri bebas memilih kelas yang ingin diikuti. Bisa
satu kelas atau lebih.
Alhamdulillah segala prosesnya dimudahkan termasuk biaya
pendaftaran karena sebelumnya tak saya sangka bisa mendapat pemasukan dari
pekerjaan yang Alhamdulillah sangat membantu. Begitupun dengan
kemudahan-kemudan lain yang tak pernah saya bayangkan. Juga lika-liku dan
pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang tak pernah saya duga. Mungkin lain
kali bisa saya ceritakan. Semoga saya bisa istiqomah. Aamiin.
0 komentar