COD: Solusi Terbaik untuk Transaksi dan Melatih Kesabaran |
Dunia bisnis selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Banyak inovasi dilakukan penjual untuk menarik pembeli. Entah itu sesuatu yang baru atau sesuatu yang sudah ada namun dikreasikan dan dikembangkan. Termasuk dalam hal ini adalah proses transaksi.
Banyak penamaan dalam model transaksi. Salah satunya pembayaran di tempat saat bertemunya antara penjual atau jasa pengantar dengan pembeli. Atau sering kita kenal dengan nama COD (Cash on Delivery). COD memang pilihan tepat bagi saya terlebih karena pengalaman pertama yang tidak mengenakan dengan sistem pembayaran transfer. Layaknya ditolak oleh cinta pertama memang selalu membekas.
Tahun 2013 silam saya mentransfer sejumlah uang untuk membeli sebuah kaos bergambar Patlabor di sebuah distro anime (ternama) di Bandung. Namun sampai tulisan ini mengudara barang itu tidak kunjung datang ke rumah. Bahkan sekedar pihak jasa pengirim mampir untuk ngopi-ngopi pun tidak.
Tutup lensa kamera adalah saksi biksu saya dalam melakukan transaksi yang namanya COD untuk pertama kali. Layaknya nikotin COD kini menjadi candu. Setelah kesepakan pertama yang bisa dibilang sukses itu akhirnya sudah tak terhitung lagi saya melakukan transaksi dengan cara COD. Entah itu berperan sebagai penjual maupun pembeli.
Walaupun transaksi masih terbatas karena COD mengharuskan bertemunya penjual dan pembeli. Namun itu bukan menjadi masalah buat saya pribadi. Karena lewat COD saya bisa lebih mengenal pembeli atau penjual, berbagi pengalaman dan bisa mendapatkan catatan-catatan bisnis.
Dalam ingatan saya, dalam transaksi COD tidak semuanya lancar. Ada saja tidak mulus-mulusnya. Dari yang menunggu sampai jamuran, pembatalan sepihak, sampai ngilang dan tidak ada kabar seperti kasus-kasus kriminal yang melanda negeri tercinta ini.
Pernah suatu ketika saya memiliki janji untuk bertemu dengan penjual. Tidak perlu basa-basi terlalu lama akhirnya waktu dan tempat sudah sepakat ditentukan. Tempat yang saya pilih selalu di tempat yang ramai biar aman. Kalau tidak berani boleh mengajak teman. Tapi sampai sejauh ini selalu saya lakukan sendirian. Seperti biasa saya datang lebih dulu dan mulai menunggu. Waktu terus berlalu namun penjual tak memperlihatkan batang hidungnya. Yang awalnya saya cukupkan menunggu di trotoar jalan akhirnya berpindah di emperan toko yang waktu itu sudah tutup dan mencoba menghubungi lewat whatsApp.
Sambil menunggu, saya buka lembar demi lembar novel yang saya bawa dan membacanya dengan takzim. Lebih dari tiga puluh menit berlalu saya masih setia menunggu jawaban dari penjual yang sepertinya tidak ada jaringan di ponselnya atau memang sengaja mematikannya. Karena yang awalnya terbaca kemudian hanya ada tanda centang satu.
Dengan polosnya saya masih menunggu sampai beberapa menit kemudian dan akhirnya memutuskan untuk hengkang karena kebelet yang melanda. Sebelum hengkang dari tempat perjanjian pun saya sempatkan untuk memberi pesan ke penjual bahwa saya mau kembali untuk mengeluarkan apa yang seharusnya saya keluarkan. Dan berpesan bahwa kalau penjual itu sudah ada di tempat mohon untuk dikabari karena kebetulan jarak dengan kos tidak terlalu jauh.
Setelah lega kabar pun masih tak ada. Alih-alih marah-marah atau berkeluh kesah di forum jual beli, saya lebih menikmati melanjutkan kembali membaca novel berjudul "O" karya Eka Kurniawan yang saya baca di emperan toko tadi.
Tahun 2013 silam saya mentransfer sejumlah uang untuk membeli sebuah kaos bergambar Patlabor di sebuah distro anime (ternama) di Bandung. Namun sampai tulisan ini mengudara barang itu tidak kunjung datang ke rumah. Bahkan sekedar pihak jasa pengirim mampir untuk ngopi-ngopi pun tidak.
Tutup lensa kamera adalah saksi biksu saya dalam melakukan transaksi yang namanya COD untuk pertama kali. Layaknya nikotin COD kini menjadi candu. Setelah kesepakan pertama yang bisa dibilang sukses itu akhirnya sudah tak terhitung lagi saya melakukan transaksi dengan cara COD. Entah itu berperan sebagai penjual maupun pembeli.
Walaupun transaksi masih terbatas karena COD mengharuskan bertemunya penjual dan pembeli. Namun itu bukan menjadi masalah buat saya pribadi. Karena lewat COD saya bisa lebih mengenal pembeli atau penjual, berbagi pengalaman dan bisa mendapatkan catatan-catatan bisnis.
Dalam ingatan saya, dalam transaksi COD tidak semuanya lancar. Ada saja tidak mulus-mulusnya. Dari yang menunggu sampai jamuran, pembatalan sepihak, sampai ngilang dan tidak ada kabar seperti kasus-kasus kriminal yang melanda negeri tercinta ini.
Pernah suatu ketika saya memiliki janji untuk bertemu dengan penjual. Tidak perlu basa-basi terlalu lama akhirnya waktu dan tempat sudah sepakat ditentukan. Tempat yang saya pilih selalu di tempat yang ramai biar aman. Kalau tidak berani boleh mengajak teman. Tapi sampai sejauh ini selalu saya lakukan sendirian. Seperti biasa saya datang lebih dulu dan mulai menunggu. Waktu terus berlalu namun penjual tak memperlihatkan batang hidungnya. Yang awalnya saya cukupkan menunggu di trotoar jalan akhirnya berpindah di emperan toko yang waktu itu sudah tutup dan mencoba menghubungi lewat whatsApp.
Sambil menunggu, saya buka lembar demi lembar novel yang saya bawa dan membacanya dengan takzim. Lebih dari tiga puluh menit berlalu saya masih setia menunggu jawaban dari penjual yang sepertinya tidak ada jaringan di ponselnya atau memang sengaja mematikannya. Karena yang awalnya terbaca kemudian hanya ada tanda centang satu.
Dengan polosnya saya masih menunggu sampai beberapa menit kemudian dan akhirnya memutuskan untuk hengkang karena kebelet yang melanda. Sebelum hengkang dari tempat perjanjian pun saya sempatkan untuk memberi pesan ke penjual bahwa saya mau kembali untuk mengeluarkan apa yang seharusnya saya keluarkan. Dan berpesan bahwa kalau penjual itu sudah ada di tempat mohon untuk dikabari karena kebetulan jarak dengan kos tidak terlalu jauh.
Setelah lega kabar pun masih tak ada. Alih-alih marah-marah atau berkeluh kesah di forum jual beli, saya lebih menikmati melanjutkan kembali membaca novel berjudul "O" karya Eka Kurniawan yang saya baca di emperan toko tadi.