unsplash.com/Cole Keister |
Sebenarnya dua pilihan tadi bukan pilihan yang benar-benar disarankan oleh tutor saya pada waktu itu, karena sesungguhnya yang disarankan adalah prodi peternakan. Pertanian dan peternakan merupakan dua hal yang tidak asing bagi saya, dari kecil saya sudah mengenal dunia itu. Karena pertanian lebih saya sukai daripada peternakan-setelah desain dan bangunan tentunya, maka saya lebih memilih untuk mengambil prodi yang berkaitan dengan pertanian. Mungkin ini jalan yang tepat bagi saya untuk bisa ikut berkontribusi lebih memajukan pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia.
Kenyataannya, setelah tidak memiliki kesempatan sama sekali masuk lewat jalur SNMPTN yang dinilai dari nilai rapor, parahnya lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pun saya gagal. Saya sendiri tidak memiliki keinginan untuk kuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) karena biaya kuliah yang sangat mahal. Satunya-satunya kesempatan adalah masuk lewat jalur Seleksi Mandiri (SM), dan yang bisa saya jangkau adalah SM Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan SM Universitas Diponegoro (UNDIP). Pilihan prodi pun berubah drastis, bukan tentang desain dan bangunan, bukan juga tentang pertanian atau peternakan, namun prodi matematika dan kimia untuk pilihan pertama dan kedua. Dua hal itu saya pikir lebih fleksibel masuk ke bidang-bidang lain dan ketika sekolah merasa enjoy dengan dua mata pelajaran itu. Tentu saja selain karena tidak ada prodi peternakan atau pertanian di UNY. Pada akhirnya saya pun diterima pada pilihan pertama SM UNY dan SM UNDIP pun urung saya ikuti karena suatu alasan tertentu.
Saat awal perkuliahan saya sangat tidak menikmati suasana di UNY. Tubuh saya disitu tapi hati saya di tempat lain. Saya berusaha untuk ikhlas tapi jujur saja tidak mudah. Hati saya masih menginginkan untuk kuliah di Arsitektur atau teknik sipil UGM. Tahun depan saya akan mengikuti SBMPTN lagi pikirku waktu itu. Kuliah tetap hadir dengan disiplin tapi keinginan kuat untuk masuk organisasi tidak ada. Saya malas terikat dan pengalaman organisasi pun sudah ada.
Tahun kedua-tahun ajaran 2013/2014 saya pun mengikuti SBMPTN untuk kedua kalinya. Saya tidak bercerita kepada orang tua tentang hal ini dan mendaftar dengan uang tabungan. Tujuannya jelas ingin mendaftar di prodi arsitektur dan teknil sipil UGM. Waktu itu saya bahagia sekali, walaupun pada akhirnya gagal. Menyenangkan sekali ketika diterima ataupun ditolak pada pilihan yang benar-benar saya inginkan. Layaknya mengungkapkan perasaan cinta kepada seseorang yang begitu kita cintai, lebih membahagiakan ketika mendapat jawaban-baik itu diterima atau ditolak, daripada tidak pernah mengungkapkan sama sekali. Secara realita, modal saya pun sangat kurang. Kenapa? Karena saya sendiri tidak belajar dengan giat. Awal mula saya belajar lewat materi-materi yang pernah saya dapatkan lewat bimbel. Namun, dipertengahan saya mengentikan kegiatan itu. Saya berpikir bahwa pada kenyataanya lingkungan UNY begitu positif-terutama FMIPA, walaupun masih mencoba membiasakan. Faktor utamanya tentu saja orang tua dan biaya. Saya masih dibiayai oleh orang tua dan banyak sekali uang yang sudah dikeluarkan. Belum lagi kalau nanti masuk ke kampus baru (kalau diterima) pasti banyak uang yang akan dikeluarkan. Tak luput akan menunda satu tahun kelulusan. Boros uang, boros waktu-pikir saya waktu itu. Saya ber-privilege tapi tak seistimewa itu. Akhirnya saya bertekad untuk lulus dari UNY dengan segala kondisi yang ada.
Selama kuliah saya sering mengikuti kepanitiaan, juga lomba walaupun belum berprestasi, dan tahun ketiga baru ikut organisasi-Rekayasa Teknologi (RESTEK). Nilai yang saya dapat dari berbagai mata kuliah pun beragam-A, B, C, sampai D pun ada. Mengulang mata kuliah, ikut Semester Pendek (SP) pun pernah. Kerja atau berpenghasilan waktu menjadi mahasiswa pun pernah. Walaupun pengalaman saya sangat minim. Ketika menjadi mahasiswa saya ingin sekali bekerja tapi ijin dari orang tua sulit didapat. Alasannya karena nanti kalau saya dapat uang, maka kuliah saya akan terabaikan. Padahal secara pribadi saya tidak tertarik dengan uang-entah kenapa. Saya lebih tertarik dengan pengalaman. Jujur saja pada waktu itu saya sering iri dengan orang-orang-entah itu yang lebih tua, muda atau teman seangkatan yang banyak memiliki pengalaman. Sangat membahagiakan dan membanggakan sekali punya banyak pengalaman-apapun pengalaman itu.
Ketika semester 7 kami para mahasiswa sudah banyak mempersiapkan tentang Tugas Akhir Skripsi (TAS), termasuk saya-bahkan jauh sebelum itu. Ketika dosen menyinggung judul atau bahasan skripsi saya selalu mencatatnya di buku catatan. Namun, ketika diakhir ingin saya gunakan, materinya terlalu sulit untuk saya pecahkan pada waktu itu. Pada tahun-tahun akhir waktu kuliah, masalah pun banyak berdatangan. Baik datang dari perkuliahan maupun di luar perkuliahan. Baik yang nampak maupun tidak. Juga banyak kejadian yang terjadi di luar kehidupan saya yang ikut dipikirkan. Padahal itu tidak perlu, namun saya merasa bertanggung jawab disitu. Kehilangan arah dan tujuan pun begitu saya rasakan. Saya malas untuk hidup walaupun tidak ingin segera mati. Modal akhirat saya sangat kurang. Tidak keren sekali rasanya ingin segera mati karena bosan atau menyerah dengan kehidupan. Dunia ambyar masak akhirat juga ikut ambyar. Segala masalah hanya saya pendam dan lama kelamaan saya menjauh dari kehidan sosial. Kalau anda bertemu orang-orang seperti saya pada waktu itu, tolong rangkul mereka. Karena pada waktu itu saya tidak tahu mau ngapain dan tidak nyaman untuk bercerita. Bahkan kadang tidak sadar kalau saya sedang bermasalah.
Selama bertahun-tahun saya mencoba untuk bangkit, memperbaiki diri di sana sini, tidak mudah, tapi saya ingin berubah. Atau mungkin palah bukan berubah, tapi kembali. Kembali kepada diri saya yang semangat untuk hidup, positif, dan bermanfaat-walaupun belum bermanfaat amat. Kenapa kembali? Karena salah satu cara saya menjadi lebih baik adalah membuka dokumen-dokumen lama. Baik itu tulisan-tulisan saya-karena saya sering menulis, foto dan video lama, status-status di media sosial, dan lain sebagainya. Oh ternyata saya begini-saya begitu, terjawab sudah. Hal itu yang membuat saya tahu tentang diri saya sendiri, baik itu kelebihan atau kekurangan saya.
Tahun ke-7 kuliah-semester 14, saya memutuskan untuk cuti kuliah bersama dengan salah satu teman saya yang sama-sama belum selesai. Tujuannya untuk menambah masa study dan bisa bimbingan tanpa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan tidak terhitung aktif kuliah secara sistem namun bisa bimbingan. Pada kenyataannya saya tidak bimbingan dan tidak mengerjakan skripsi. Namun, konsistensi saya di luar skripsi mulai membaik. Proyek terakhir skripsi pada waktu itu sudah sampai bab 3 yang mana sebelumnya di pertengahan tahun 2018 baru di-ACC oleh dosen pembimbing dan tempat penelitian.
September 2019, usia saya menginjak 26 tahun dan entah kenapa segala masalah selesai dan saya tidak terbebani dengan masa sekarang, masa lalu, maupun masa yang akan datang. Selama kurang lebih 2 bulan dengan modal skripsi sudah sampai bab 3, skripsi saya selesai. Padahal sebelumnya saya tidak bisa coding dan selama 2 bulan itu baik penulisan, pembuatan program, kuesioner bisa saya kerjakan sendiri. Saya tidak mau menggunakan jasa pembuatan skripsi. Kalau saya belajar kepada orang yang lebih paham maka saya akan menjawab iya.
Dengan tenggang waktu sangat mepet akhirnya saya pun lulus juga. Akhir Desember 2019 skripsi saya sudah di-ACC untuk sidang, Januari sidang, Februari Yudisium, dan 31 Maret 2020 saya diwisuda. Dalam tahun-tahun itu banyak cerita dan drama, namun singkatnya seperti yang telah kamu baca. Tentu saja setelah satu masalah/ujian/cobaan selesai pasti ada masalah lain yang akan datang. Setelah wisuda, corona (covid-19) pun datang. Banyak PHK dan lowongan kerja pun berkurang. Namanya juga hidup, tinggal berdoa dan berusaha saja.