Rabu, 30 November 2016

Published 13.40.00 by with 0 comment

[Cerpen] Ruang Kelas itu Bernama Perasaan

Ruang Kelas itu Bernama Perasaan
Aku duduk di sebuah bangku di suatu ruang kelas tempatku meraih masa depan. Mencoba memejamkan mata dan menghela nafas panjang. Setelah lelah ini menghilang, aku buka kedua mataku perlahan. Aku melihat sesuatu yang membuatku betah berlama-lama di tempat ini. Duduk di bangku ini. Tidak ada sesuatu yang lebih indah daripada melihat ciptaan-Nya. Ciptaan-Nya itu adalah dirimu. Sinar bola matamu yang menghangatkan, senyum merekah bibirmu yang manis, parasmu yang menenangkan dan perangaimu yang santun. Semua itu memenuhi hari-hariku di bangku ini. Bangku yang sama yang selalu aku singgahi.

Inginku untuk duduk berdua disisihmu dan bercanda gurau sampai raga ini tak lagi bernyawa. Berdua bersama. Saling membantu dan saling melengkapi. Duduk di dua bangku yang berbeda namun berada di meja yang sama. Hidup di dua peran yang berbeda namun berada di kehidupan yang sama. Kehidupan itu adalah keluarga. Aku yang akan duduk di kursi suami dan kau yang akan duduk di kursi isteri. Mungkin suatu saat kita akan duduk di bangku yang sama bersama. Atau mungkin kita akan saling bertukar bangku untuk sementara waktu.

Namun semua itu hanya sebuah kenyataan dalam khayalan. Ketika aku melihat dirimu lebih luas lagi. Ternyata dirimu sudah duduk bersama laki-laki lain. Laki-laki yang selama ini kau impikan. Seorang pendamping yang kau dambakan. Apalah dayaku yang hanya bisa melihatmu bermesraan dengan dirinya. Dihadapanku secara langsung dalam keseharianku duduk di bangku ini. Tak ada arah pandangan lain selain menatap kedepan. Setiap aku mencoba fokus untuk memandang kedepan untuk meraih masa depan, bayangmu dan bayangnya selalu nampak jelas di kedua bola mata. Aku hanya bisa memendam dan terus bertahan, mengeluarkan ekspresi datar tak berperasaan, karena itu yang bisa membuat ruang kelas ini terasa nyaman.

Aku berharap ada seseorang yang menemani duduk disampingku. Tidak membuka percakapan tapi saling menemani. Tidak membuka obrolan tapi saling mengerti. Sampai akhirnya menetertawakan apa yang aku dan orang itu lihat bersama. Tapi aku sadar, aku pengharap yang tidak tahu diri. Mana mungkin aku menjadikan orang lain sebagai pelampiasan, menjadikan orang lain hanya penghibur semata, aku harus bisa melakukannya sendiri.

Suatu ketika dalamku meraih masa depan, aku melihat sebuah pertengkaran. Pertengkaran antara dirimu dengan laki-laki impianmu. Sampai akhirnya laki-laki itu pergi meninggalkan dirimu sendiri. Kamu hanya duduk terdiam meratapi apa yang telah terjadi. Menangis tiada henti membuat ruang kelas ini begitu asing. Inginku untuk menemani dan menghiburmu, tapi apa daya hanya doa yang menghampiri. Aku memang bukan laki-laki yang berani mengungkapkan kata-kata seperti laki-laki yang ada di dalam hatimu.

Hari demi hari terlalui, bulan pun berganti, tahun yang sama pun tak lagi menemani. Sepertinya dirimu sudah terbiasa dengan kepergiaannya. Walaupun masih kutemui sajak-sajak rindumu kepada dirinya. Aku hanya manusia biasa yang juga bisa merasakan apa itu rasa cemburu. Tapi aku sadar bahwa aku tidak berhak mempunyai rasa itu. Sampai pada akhirnya aku memberanikan untuk memberimu sajak kasih yang selama ini aku simpan dalam. Walaupun pada kenyataannya sajak itu hanya aku taruh pada kolong mejamu.

Aku hanyalah seorang laki-laki yang duduk di kursi belalakang memandang ke depan. Berharap diperhatikan namun digusurkan. Laki-laki tanpa ekspresi yang ingin mengungkapkan isi hati. Surat itu tak kunjung kau baca, mungkin karena tertutupi oleh sajak-sajakmu kepada laki-laki impianmu yang kau simpan di tempat yang sama. Namun akhirnya kau menemukannya. Aku melihatnya saat kau membaca sajak-sajakku untukmu. Kamu tersenyum manis dan akhirnya kamu tahu bahwa sajak itu dariku. Raut wajahmu berubah tidak tahu harus berkata apa. Tapi dirimu memang wanita yang baik, kau datang kepadaku dan mengatakan ucapan terima kasih.

Banyak hal yang kau katakan tapi aku tidak paham. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin kau katakan. Tidak ada kata maju atau mundur. Aku hanya berkesimpulan untuk tidak bergerak maju atau mundur. Hanya berdiam diri ditempat yang sama, menunggu sepanjang waktu. Tapi ada sesuatu yang berubah. Aku masih disini duduk di bangku yang sama tapi dirimu sekarang semakin menjauh. Dirimu yang kini terhalang tembok-tembok penghalang yang kau ciptakan. Aku tidak tahu apa maksutmu, tapi aku tetap bertahan disini. Ditempat yang sama, seperti dulu.

Sampai akhirnya aku coba berjalan ke arahmu dan kamu mengatakan kepadaku untuk mundur. Mungkinkah ini jawaban darimu yang selama ini aku tunggu? Sesuatu pernyataan yang aku tunggu walaupun memang bukan suatu hal yang aku ingin dan aku dengar darimu. Tapi aku sadar aku tidak bisa hidup dengan wanita yang tidak mempunyai rasa yang sama. Aku tidak bisa hidup dengan wanita yang duduk disisihku tapi tak mengharapkan keberadaanku.

Lemas tubuh ini seketika. Kaki yang selama ini menopang kuat runtuh bagai tak bertulang. Langkah kaki ini terasa berat. Tidak tahu lagi harus melangkah kemana. Paras cantikmu yang tidak bisa membunuhku itu kini membuatku merasa mati. Perangai santunmu yang tidak bisa menghancurkanku itu kini membuatku lebur. Aku hanya duduk melamun terdiam. Memandang kosong tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Pernah aku berpikir sifatmu yang mudah bergaul sedangkan aku yang pendiam ini bisa membuat kita hidup bersama dengan saling melengkapi dan mengisi. Pernah aku berpikir bahwa kesukaan dan cara pandang hidup kita yang sama akan membuat kita hidup bersama dengan arah tujuan yang tak berbeda. Pernah aku berpikir kehadiranmu yang selalu ada dalam kelompok dan tempat yang sama denganku adalah rencana Tuhan untuk menyatukan kita. Tapi aku lupa bahwa rencana Tuhan lebih luas daripada apa yang aku bayangkan. Kita memang selalu berada dalam kelompok dan tempat yang sama, tapi tidak dalam perasaan yang sama.

Waktu berlalu dan pada akhirnya kamu pergi dari ruangan kelas ini. Setiap langkah yang kau tapakan bisa aku lihat dengan jelas. Semuanya bergerak dengan perlahan. Mata ini begitu mudah menangkapnya tapi berat langkah kaki ini untuk bergerak. Sampai pada akhirnya bayangmu kini manjauh dan tak terlihat sama sekali. Semuanya pergi. Tinggal aku seorang diri dalam ruangan kelas yang kosong ini.

Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus melanjutkan hidup dan meraih apa yang aku impikan saat pertama kali melangkahkan kaki di ruang kelas ini. Aku berharap ada seseorang yang mengulurkan tangan ke arahku, menarikku keluar dari ruang kelas ini, kemudian berlari menjauh. Tapi seseorang seperti itu tidak ada. Aku sadar hanya aku sendiri yang bisa membuat diriku bergerak keluar dari ruang kelas ini.

Aku paksakan kaki ini untuk bergerak, melangkah di kehidupan baru keluar dari ruangan ini. Sampai pada akhirnya aku berada di antara lorong dan ruangan yang selama ini aku singgahi. Aku melihat lorong itu begitu panjang dan begitu gelap. Sesekali aku melihat ke dalam ruangan. Ruangan yang masih terang karena sinar buatan. Terbayang masa-masa indah dan kelam yang ada di dalamnya. Tapi semakin aku ingat hati ini terasa begitu sakit.

Kini tekad sudah aku bulatkan untuk melangkahkan kaki keluar dari ruang kelas ini. Setiap langkah aku tempuh dengan berjuangan yang besar melewati lorong gelap. Walaupun aku tidak tahu apa yang ada diluar sana dan betapa gelapnya lorong ini, tapi aku tidak mau kembali ke dalam ruang itu dan hidup seorang diri. Aku bersumpah tidak akan kembali ke ruang kelas itu dan kembali ke masa-masa yang sama. Ruangan kelas itu kini kosong. Ruang kelas itu bernama perasaan.
Read More
      edit
Published 13.32.00 by with 0 comment

[Cerpen] Kata-Katamu di Malam Itu

Kata-Katamu di Malam Itu
Kulangkahkan kaki tak beralas ini menjauh dari bara api yang menyatukan malam dengan segerombolan orang yang merindukan kebebasan. Menjauh dari keramaian canda khas anak muda yang tak kenal kata padam. Melangkah menyusuri malam beratapkan manisnya rembulan. Mengumpulkan peninggalan-peninggalan wisatawan yang tidak tahu kata penghormatan. Para wisatawan yang lupa dengan perasaan lingkungan. Sudah kau masuki kehidupanku tanpa permisi dan setelah itu kau kotori aku kemudian pergi begitu saja, mungkin itu yang akan dikatakannya pikir candaku dalam hati.

Berat langkah ini karena pelukan sang pasir, aku putuskan untuk duduk sebentar. Mendekap kedua kaki ditemani tumpukan ranting kering dan sekantong penuh peninggalan sang wisatawan. Aku tengok pemandangan yang berada di kiriku, melihat orang-orang yang sudah lama aku kenal. Orang-orang yang sama-sama berjuang dalam perantauan untuk mendapatkan sebuah gelar bernama anak kuliahan. Terima kasih Tuhan telah memasukan mereka ke dalam hidupku. Terlebih lagi ada dirimu disitu. Melihatmu menutup mulut saat tertawa, melihatmu yang terampil membantu teman-teman lain membuat hidangan malam, waktu seakan berhenti sesaat. Semua bergerak dengan lambat.

Mereka melambaikan tangan dan berteriak kepadaku, menyuruh diriku untuk segera bergabung menikmati santap malam. Aku hanya menjawab dengan isyarat tangan. Tanda untuk menunggu sebentar dan mempersilahkan mereka menyantap hidangan malam duluan. Aku masih betah menikmati kesunyian ini. Aku putuskan untuk merebahkan tubuhku di hamparan pasir, melihat betapa cantiknya bulan malam ini. Ditemani suara desiran ombak yang menenangkan, aku pejamkan kedua mataku. Aku taruh kedua telapak tangan menjadi bantal alas kepala. Sedikit bergerak menyesuaikan raga ini dengan kasur alam yang sangat luas. Ku rasakan hembusan angin yang menyegarkan mengenai seluruh tubuhku. Aku satukan tubuh dan raga ini denga alam, seolah beban hidup hilang seketika.

Perut ini sudah mulai mengadu, inginku segera beranjak dan menikmati hidangan malam. Kubuka mataku perlahan. Kulihat bayang-bayang yang sepertinya aku kenal. Bayang-bayang yang membuat hati ini merasa tenang, membuat diriku ini ingin tetap singgah berlama-lama. Ternyata dirimu, bidadari sang rembulan. Duduk disebelah kiriku menghadap lautan. Menikmati hembusan angin yang mengenai paras cantikmu. Belum mulut ini terbuka tapi dirimu sudah memulai pembicaraan.

"Sudah bangun?" katamu sambil tersenyum, manis sekali. Aku pun membenarkan posisiku duduk menghadap lautan sama sepertinya. "Kok disini?" kataku penasaran. Dia tersenyum lagi dan menjawab dengan menggemaskan. "Iiih... gak dijawab palah nanya balik."

"Kan bisa dilihat sendiri, lagian aku gak tidur kok, cuma tiduran aja." Jawabku.

"Iya aku tahu, masak tidur senyum-senyum." Celotehnya kesal. Aku tersenyum, ternyata dia sedari tadi memperhatikanku, pikirku.

"Jadi daritadi memperhatikan aku nih?" candaku.

"Enggak kok, tadi aku  kesini mau bilang buruan makan tapi kamunya lagi tidur gak enak ganggu. Yaudah aku temenin kamunya."

"Cie perhatian banget sih tapi makasih mau nemenin," kataku, "gak ada yang marah nanti?"

"Gak ada, kamu kan tau sendiri. Eh iya kenapa eh gak nyari pacar? Biar status jomblo akutmu segera hilang dari peredaran." Dia tertawa lepas.

"Gapapa... lagian mana ada yang mau sama cowok yang gak dewasa dan kekanak-kanakan seperti aku ini." Candaku.

"Ada kok..."

Aku tersenyum dan menganggap perkataannya sebagai angin lalu. Aku tidak mau gede rasa dengan apa yang dikatakannya barusan. "Masa sih?" tanyaku bercanda.

"Masak gak percaya," katanya,"memang gak dewasa seperti apa yang kamu maksud?".

"Ya sifat kekanak-kanakanku ini, yang suka banget hujan-hujanan, tidur sembarangan seperti yang kamu lihat barusan dan ngelakuin apapun sesukanya."

"Kamu memang seperti itu, tidak ada yang salah dari apa yang kamu lakukan, bukankah itu bagian dari menikmati hidup?"

"Iya sih.." timpalku.

"Gini yaa...." dia berkata dengan lembut, "waktu kamu melakukan semua hal yang kamu sebut kekanak-kanakan tadi apa ada yang dirugikan?"

Aku hanya terdiam. Dia melanjutkan lagi. "Mungkin sebagian orang akan mengatakan kamu tidak dewasa tapi percayalah ada orang yang tetap mencintaimu dan menyayangimu dengan caramu. Tidak perlu kamu berubah menjadi orang lain. Dewasa memang banyak bentuknya. Kamu tau banyak dari mereka yang mengatakan bahwa seseorang itu dewasa tapi tidak memikirkan masa depannya. Sebagian dari mereka acuh dengan lingkungan sekitar dan tidak memiliki rencana untuk menjalani hidup. Sebagian dari mereka acuh dengan apa yang mereka kerjakan. Merokok di sembarang tempat misalnya. Mereka yang tidak dewasa dalam merawat kesehatan mereka. Bahkan aku begitu jengkel dengan para perokok yang tidak tahu tempat. Aku tidak melarang mereka merokok tapi sadarilah bahwa orang lain juga berhak untuk menikmati udara bebas dari asap rokok. Gak cuma itu tp masih banyak lagi.".

Aku terdiam melihat ke arahnya, tak mau melawan argumen-argumennya.

"Gak cuma itu!" dia berkata dengan sangat antusias melanjutkan argumennya. "Kau tahu banyak dari orang tua dan dosen juga tidak dewasa dalam bersosial media. Harusnya kan mereka bisa mengendalikan diri. Mungkin di kehidupan nyata mereka terlihat dewasa tapi di sosial media mereka berbeda. Bukankah harusnya mereka menjadi contoh?"

"Mungkin mereka kaget dengan teknologi yang baru mereka temui." Kataku bercanda. Kami berdua tertawa lepas.

"Kamu benar, mungkin mereka kaget dan lupa esensinya media sosial dengan bagaimana menggunakan media sosial dengan baik dan benar."

"Halah... kamu dulu juga paling alay," timpalku.

"Hehe... benar juga sih. Hmm... ternyata benar ya kalo dewasa itu memang sebuah proses bukan suatu paksaan."

Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Untuk beberapa waktu kami hanya berdiam menikmati suasana malam itu. Merasakan angin yang berhembus pelan, mendengarkan desiran ombak yang menentramkan dan kehangatan percakapan dalam diam.

"Udah malam kamu makan ya. Nanti aku buatkan minuman kesukaanmu. Cokelat hangat kan?"

Untuk beberapa saat aku terdiam tidak percaya dengan apa yang dikatakan barusan. Apa mungkin barusan hanya imajinasiku saja tanyaku dalam hati. Aku masih terdiam memasang muka bertanya-tanya melihat ke arah wajahnya.

"Hey... dijawab dong," katanya dengan nada sedikit kesal tapi senyum di bibirnya tetap masih menghiasi. Aku pun mengangguk tanda setuju.

"Yaudah aku kesana dulu, aku panasin airnya dulu, dan... gak usah mikirin soal hal kedewasaan tadi. Tetaplah menjadi dirimu sendiri, jangan menjadi orang lain. Bukankah kamu ingin mencintai dan dicintai sesesorang dengan utuh tak bertopeng? Saling mengerti dan memahami? Pasti ada seseorang yang bisa mengerti dan saling mengerti dengan duniamu yang unik itu." Dia tersenyum dengan manis. "Pasti ada...." Dia melanjutkan.

Aku tersenyum dan terdiam melihat ke arahnya berlalu pergi. Terpikirkan oleh setiap kata-katanya. Mungkinkah dia? Ah aku tak mau berpikir sejauh itu.
Read More
      edit
Published 13.30.00 by with 0 comment

[Puisi] Jomblo Pemberani

Jomblo Pemberani
Jomblo Pemberani

Malam ini malam yang seru,
tak seperti malam-malam di masa lalu.
Meskipun masih saja merindu,
tapi itu tak masalah buatku.

Malam ini aku sedang uji nyali,
diribuan pasang muda-mudi.
Hanya berteman alat fotografi,
aku berani.

Bukan karena aku belagu,
bukan juga karena aku tak punya rasa malu.
Hanya saja,
jomblo juga berhak merasakan malam minggu.


Read More
      edit
Published 13.27.00 by with 0 comment

[Puisi] Sajak Untuk Bumi

Sajak untuk Bumi
Sajak untuk Bumi

Bahkan panas ini sunggu luar biasa.
Tapi tak tahu juga apa yang akan terjadi nanti.
Cuaca kini cepat berubah.
Beberapa menit lagi mungkin akan hujan deras seperti yang sudah-sudah.
Tapi hari ini panas, detik ini sangat panas.
Sungguh.

Cuaca tak menentu seperti ini mulai terjadi ketika aku beranjak dewasa.
Aku rasa masa kanak-kanak dulu aku tak merasakannya.
Lalu bagaimana yang akan terjadi nanti?
Saat aku menua dan tiada?
Aku tak tahu.
Tapi aku rasa waktu berlalu makhluk tak ada yang menjadi muda.
Semua menua.

Lalu bumi, apakah kau sudah menua?
Apakah kau tak kuat lagi dengan kami, manusia?
Apakah kau sudah muak dengan tingkah kami yang merusak?
Tapi sadarilah, kami semua tak sama.
Read More
      edit
Published 13.22.00 by with 0 comment

[Cerpen] Sajak Terakhir

Sajak Terakhir
Aku selalu tersipu.
Aku selalu menunggu.
Aku selalu merindu.
Merindu, menunggu, tersipu kehadiran wanita itu.
Wanita itu kamu, sayangku.
Kamu yang sekarang membaca sajakku.
Maukah kau jadi pendampingku?
Dalam setiap sedih dan bahagiaku.
Aku harap begitu.
Apa yang aku tuliskan ini bukan bukti cintaku padamu.
Karena perlu seumur hidupku untuk membuktikan cintaku padamu.
Dariku, laki-laki yang ada di depanmu.

Wanita di depan itu berdiri. Sebelum dia akhirnya berlalu pergi, dia berkata dengan lembut : "Itu surat darinya. Laki-laki yang sama yang dulu menunggumu di kampus biru. Kalau kamu bertanya kenapa sekarang aku yang ada di depanmu, baris kesebelas dari surat itu adalah jawaban untukmu. Karena kini kau tak bisa lagi melihat kehadiran laki-laki itu."
Read More
      edit

Selasa, 22 November 2016

Published 20.11.00 by with 0 comment

Catatan Pagi Berbagi

Catatan Pagi Berbagi
Sabtu pagi ini setelah menghabiskan banyak waktu di depan laptop, pergi keluar untuk mencari soto sepertinya suatu hal yang menyenangkan untuk sarapan. Kondisi memang sedang tidak lapar tapi sarapan sekali-sekali tak apalah pikir saya. Saya memang tidak biasa sarapan sejak duduk di bangku SMP. Sebuah kebiasaan yang tidak baik katanya. Lingkungan di sekitar kos memang banyak sekali penjual makanan yang menyuguhkan masakan enak yang ada di setiap pagi atau malamnya. Atau bahkan sepangjang hari.

Jam sudah menunjukan pukul 7 tapi suasana kos masih sepi dan banyak pintu yang masih tertutup.

Keluar gerbang, sedikit melangkahkan kaki akhirnya diri ini sudah duduk di bangku penjual soto yang dekat dengan kosan. Soto dan teman makanan lainnya seperti keripik tempe dan aneka ragam sate kini sudah dihidangkan di depan mata.

Datang sepasang laki-laki dan perempuan paruh baya yang biasa saya temui sebelum adzan Shubuh. Atau paling tidak sebelum iqomah. Dimana Shubuh belakang ini lebih awal dari biasanya. Mereka yang biasa saya temui di jalanan komplek ditemani beberapa ekor anjing peliharannya.

Tapi hari ini saya baru bertemu mereka di tempat penjual soto. Karena sebelum Shubuh ini saya masih terlelap.

Mereka adalah sepasang manusia yang mengangkut sampah setiap paginya dari rumah satu ke rumah lainnya. Sebuah pekerjaan yang sangat penting dan tidak semua orang tahu. Entah keberadaan atau kegiatan mereka. Sebuah pekerjaan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan sebuah masyarakat. Saya sebut mereka pahlawan pagi.

Sudah setengah porsi soto saya habiskan. Lewat seorang laki-laki yang sepertinya umurnya tidak jauh beda dengan kedua pahlawan pagi. Saling menyapa dan melakukan pembicaraan singkat terjadi begitu saja. Sebuah perilaku sosial yang arif yang sangat saya sukai namun jarang saya lakukan. Saya memang suka berkomunikasi dan bersosialisasi tapi untuk melakukan pembicaraan pertama atau sekedar menyapa saya rasa tidak. Sebuah kebiasaan yang muncul ketika selama beberapa tahun menyapa tapi tidak ada respon baik dari lawan bicara saya. Entah itu orang baru atau orang yang sudah lama saya kenal. Sekriminal itukah wajah saya?

Hal ini memang bukan suatu yang patut saya jadikan sebagai alasan. Sekarang saya berusaha kembali membiasakan diri dengan perilaku yang arif ini.

Selang beberapa menit bapak paruh baya yang sedang melakukan jogging pagi tadi kembali. Dimana beliau adalah dosen di salah satu universitas yang terkenal di Indonesia. Melakukan pembicaraan yang lebih lama dengan penjual soto dan kedua pahlawan pagi. Namun masih tergolong sebuah pembicaraan yang singkat.

"Nggo pak (ini pak)" Kata bapak dosen tadi sebelum langsung pergi melanjutkan kegiatan dan menyodorkan uang bergambar pahlawan bernama Igusti Ngurah Rai. Sebuah pemandangan indah yang bisa saya temui di pagi hari ini. Semoga saya bisa selalu seperti itu. Bukan mendapatkan pemberian uang tapi menjadi orang yang bisa memberi. Dimana setiap pagi pak dosen terbiasa memberi uang kepada orang yang ditemui yang menurutnya membutuhkan. Sepertinya hal ini bukan kali pertama sang pahlawan pagi mendapatkan rekeki lewat sang dosen setelah apa yang saya dengar selanjutnya.

Sebuah catatan kecil untuk saya bahwa hidup ini harus dijalani dengan arif dan bermanfaat. Dimana sang pahlawan pagi berjasa dan bermanfaat bagi masyarakat lewat apa yang mereka kerjakan demi kelangsungan hidup masyarakat. Sang dosen yang hidup dengan membawa manfaat bagi sesama. Dan mereka yang menjalani hidup arif dengan saling berkomunikasi dan menghormati.
Read More
      edit

Senin, 21 November 2016

Published 14.13.00 by with 0 comment

Lika-Liku Pemotretan

Lika-Liku Pemotretan
18 November 2016 - Kalau sebuah hari dimulai disaat orang bangun dan beranjak dari tempat tidur, mungkin sekitar pukul 3.38 pagi bukanlah awal dari hari yang akan saya lalui. Karena pada akhirnya diri ini melanjutkan untuk kembali terlelap dan akhirnya satu jam kemudian baru beranjak dari tempat yang memiliki gaya gravitasi tinggi itu. Seperti biasa saya kurang istirahat dan terlelap di larut malam.

Setelah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan di pagi hari dan menyiapkan perlengkapan fotografi, saya bersiap untuk bergegas melakukan pengambilan foto buku tahunan. Berdua dengan rekan. Tapi setelah beberapa menit tidak kunjung datang juga yang katanya pukul tujuh.

Pengambilan gambar buku tahunan berada di sekitar rektorat Universitas Negeri Yogyakarta. Ketika sampai disana terlihat beberapa perbedaan. "Seberapa lama itukah saya tidak datang ke kampus?" pikir saya ketika melihat pembangunan gedung baru untuk S2 yang sedang dibangun dan terdapat lahan parkir baru. Cukup disayangkan, karena tempat yang dijadikan pembangunan adalah lahan hijau yang menyegarkan mata dan pikiran.

"Aah..!!!" Teriak saya disusul rekan saya. Serangan semut ngangrang menggigit kaki dan mulai merambat ke seluruh badan. Entah kenapa mereka seperti makhluk yang bisa melihat dan mengejar kami sebagai mangsa. Sepertinya kami sudah ditandai oleh mereka. Tapi anehnya yang diserang orangnya itu-itu saja. Gigitannya (kagak tahu sebutan tepatnya apa, toh walaupun semut kagak punya gigi tapi sudah biasa disebut begitu) itu lho, bisa menembus celana dan kaos kaki. Begitupun dengan rasa gigitannya. Hmm, super sekali.

Pemotretan tetap dilanjutkan dan hari ini empat kelompok berhasil di proses pengambilan gambarnya. Padahal niat awal adalah pemotretan bersama satu kelas dan pengambilan semua anggota kelompok yang berjumlah 6 kelompok. Karena beberapa alasan dari klien hal itu tidak sesuai dengan rencana.

Hari kini sudah mulai petang dan hujan pun turun dengan syahdunya. Waktu-waktu itu saya dan rekan saya habiskan di dalam kamar kos untuk melihat film dan mengedit foto ditemani camilan keripik singkong pedas.

Hal itu tak berlalu sampai larut malam seperti pengerjaan buku tahunan sebelumnya. Karena saya ada janji dengan teman-teman yang saya kenal di KKN. Untuk berbincang dan menikmati kopi bersama. Sudah beberapa pertemuan saya tidak bergabung dengan mereka. Akhirnya saya memiliki waktu untuk bergabung dengan mereka. Bukan karena saya sibuk tapi memang waktu dan tempat yang tidak berjodoh. Saya pun bergegas sendiri, setelah sebelumnya mengajak rekan saya yang menolak karena memiliki keperluan lain.
Read More
      edit

Minggu, 20 November 2016

Published 22.09.00 by with 0 comment

Menyendiri

Menyendiri
Hari sudah berganti. Tapi seperti biasa, saya masih setia memandang dua buah laptop yang selalu menemani di dalam kamar sewa di Jogja. Dua laptop yang saya gunakan untuk menulis sedangkan yang satunya untuk menonton film atau sekedar mendengarkan musik kesukaan.

Pagi yang sunyi membawa otak dan hati untuk saling mengerti. Niat hati untuk menulis dua atau tiga buah cerita yang ada dalam draft. Namun akhirnya, malam yang sunyi ini membawa saya menulis sebuah prosa yang saya temukan di lembaran kertas lama. Sebuah prosa berjudul Kembali yang tidak masuk dalam rencana awal dan akhirnya saya posting di blog.

Sebuah kisah prosa yang datang dalam hidup saya. Walaupun tidak saya alami langsung secara fisik. Yah, karena itu datangnya lewat mimpi. Sebuah bunga dalam tidur. Entah kenapa terkadang saya sering terganggu dengan bayangan khayalan atau mimpi yang datang dalam tidur lelap. Karena banyak dari mereka akhirnya terjadi di dalam dunia nyata.

Setelah menunggu Shubuh dan melakukan kewajiban di pagi hari, selang kurun waktu satu jam tubuh dan mata ini tidak kuat lagi untuk terjaga. Saya pun terlelap. Sebuah penyakit kebiasaan yang datang semenjak berhadapan dengan skripsi dan semester akhir. Namun, sepertinya akhir-akhir ini sudah kembali ke kehidupan normal.

Siang ini saya menuju kampus mencoba untuk mengurus sebuah tugas akhir dan berbincang hangat dengan dosen pembimbing. Menolak ajakan teman-teman yang sering datang di hari Senin. Sebuah ajakan nonton di bioskop dengan harga yang miring. Pas untuk kantong mahasiswa. Setidaknya mahasiswa seperti saya. Walaupun saya terkadang sering tidak ikut karena urusan kantong. Sepertinya sudah beberapa minggu ini saya tidak bergabung dengan mereka. Tapi tak apalah. Biarlah.

Siang ini saya setia menunggu dosen pembimbing di depan laboratorium komputer lantai tiga. Sendiri menyendiri. Sebelumnya saya memang tidak menghubungi beliau. Dosen ini berbeda. Saya tidak perlu membuat janji untuk bertemu. Namun, penantian tak sesuai dengan harapan. Setelah beberapa mahasiswa keluar dan salah satu dari mereka berkata kepada saya kalau dosennya tidak mengajar dan kelas pun kosong. Dimana dosen yang dimaksud juga merupakan dosen pembimbing saya.

Saya memiliki kehidupan kecil yang terkadang saya lakukan. Yang membuat saya merasa tenang dan nyaman. Sebuah hal yang bisa menghibur saya. Hal itu adalah pergi sendiri ke suatu tempat baru dengan mengendari sepeda motor, bersepeda atau berjalan kaki. Kalau hal ini datang, malam hari pun saya akan berjalan menyusuri kesunyian. Mengelilingi kampus dengan berjalan kaki sendiri di malam hari pun pernah saya lakukan. Sendiri menyendiri.

Sepertinya berkeliling kota Jogja bisa sangat menyenangkan pikir saya. Setelah pikiran ini datang, membuat saya merasa tidak mau kembali dan berlama-lama di dalam kamar. Seperti ada sesuatu hal yang menekan tubuh saya kalau hal ini tidak dikeluarkan. Saya memang selalu melakukan hal ini dengan spontan dan tanpa perencanaan.

Seperti biasa, saya tidak tahu arah dan tujuan saya akan kemana. Hanya saja menghabiskan waktu di bawah sinar sore yang hangat itu sangat menyenangkan. Namun sepertinya saya sudah menemukan arah tujuan saya. Pergi ke Bantul merupakan suatu perjalanan yang akan saya tuju. Setelah menyusuri jalan menuju arah Bantul, saya pikir menuju pantai sesuatu hal yang menyenangkan. Laju motor saya hentikan. Mampir untuk sekedar membeli beberapa roti dan air mineral untuk bekal merupakan sesuatu hal yang saya perlukan.

Hujan kini turun dengan derasnya. Entah kenapa hasrat menuju pantai palah semakin kuat. Hujan deras pun saya terjang dengan santainya. Santai saja, menikmati setiap tetesan air menimpa tubuh juga suatu hal yang menyenangkan. Yah, walaupun berselimutkan mantol. Pantai Depok dekat landasan pacu lebih sepi dan nyaman daripada pantai Parangtritis saya rasa. Dengan modal perasaan, kemudi ini pun membelok ke arah Pantai Depok.

Hujan kini sedikit reda, tapi mantol tetap terjaga di atas badan. Menyelimuti tubuh yang kian merindukan hawa segar pepantaian. Pos retribusi saya lewati tanpa hambatan. Mata ini saling bertatapan dengan penjaga. Tapi mereka berdua tidak berdiri dan mencoba menghentikan. Yasudah, saya melanjutkan perjalanan.

Sampai pintu masuk landasan pacu saya tidak menemukan orang. Tidak ada yang menjaga seperti biasa dan jalan masuk terhalang gerbang dari bambu yang terkunci. Saya pun turun dari sepeda motor dan memarkirkannya di pinggir jalan. Langkah kaki ini kini menuju landasan pacu.

Desiran ombak yang mendayu-dayu saya lihat dari kejauahan dan beberapa orang akhirnya saya temukan. Beberapa motor pun saya lihat. Lewat mana mereka pikir saya. Saya pun membalikan badan menuju motor. Mencari jalan masuk yang mereka lewati.

Kini saya melangkahkan kaki kembali menuju pantai setelah memarkirkan motor di sebuah lahan kecil yang datar. Walaupun motor tidak saya masukan ke dalam daerah landasan pacu. Tak perlulah saya rasa.

Mantol yang saya bawa dengan niat awal jaga-jaga kalau hujan kini sudah berganti menjadi alas untuk tas dan sekedar untuk duduk. Tidak lengkap rasanya kalau di pantai tanpa menikmati air lautnya. Tidak perlu saya jelaskan apa yang terjadi selanjutnya.

Tubuh ini kini saya baringkan di atas mantol dan menikmati setiap momen yang Tuhan suguhkan lewat ciptaan-Nya. Kemeja panjang flanel pun saya lepas dan merasakan semilir angin pantai lebih intim.

Suasana pantai kini kian ramai. Walaupun tak seramai pantai Parangtritis saya rasa. Banyak dari mereka bersama rombongan atau hanya sekedar berdua. Sedangkan saya sendiri menyendiri menikmati sunset di tanah asing.

Matahari kian terbenam dan senja sudah tak lagi menemani. Para pelancong kini banyak yang kembali. Sedangkan saya asik melompat dari ketinggian tumpukan pasir menuju hamparan pasir pantai yang luas. Biarlah, saya bebas.

Pantai kini menyisakan tiga orang yang masih setia dengannya. Saya dan dua orang pengendara vespa yang sedari tadi berbincang di dataran pasir di atas saya tidur. Suasana semilir angin, cerahnya langit sehabis hujan, hangatnya senja, suara menenangkan dari deburan ombak yang bersahabat dan kesendirian, itulah yang sedang saya nikmati. There is a rapture on the lonely shore. Sebuah kutipan dari penyair Inggris, Lord Byron, mungkin bisa sedikit menggambarkan.

"Beneran sendiri mas?" Tanya salah satu pengendara vespa tadi. Yang sebelumnya saya dan mereka  sudah sedikit mengobrol. "Iya" Jawab saya dengan santainya.

"Lagi galau masalah cewek ya?"

Saya tertawa mendengar pertanyaan mereka. Ingin rasanya bergabung dengan mereka dan bercanda gurau menghabiskan malam. Bersama menikmati cemilan yang sebelumnya telah saya beli. Mereka pun juga sudah menawarkan rokok. Tapi niat itu saya urungkan. Saya sendiri bukan perokok tapi bukan itu alasannya. Hanya saja ada sesuatu hal yang harus segera saya kerjakan. Saya pun berpamitan dengan mereka. Hari ini sangat menggembirakan.

Entah saya orang yang introvert atau extrovet. Saya tidak mau memikirkan hal itu. Biarkanlah saya menjalani hidup tanpa harus terkekang dinding kepribadian introvert atau extrovert atau bahkan ambivert. Tak perlu saya mengakuinya, biarkan orang yang menilanya.

Namun yang pasti ketika saya bersama orang dalam lingkungan sosial masyarakat saya menikmati hal itu. Dan ketika saya sendiri menyendiri itu juga sangat saya nikmati. Karena hati ini tidak merasa sepi. Kalau hati ini merasa sepi, di keramaian pun akan merasa sendiri dan di kesunyian pun akan merasa hilang.

-7 November 2016 - 
Read More
      edit

Sabtu, 19 November 2016

Published 15.34.00 by with 0 comment

The Lucky Boomerang Bookshop dan Sebuah Perjalanan dalam Menemukannya

Sebuah Hadiah yang Saya Dapatkan dari Lucky Boomerang Bookshop
12 November 2016 - Dunia sastra memang sesuatu hal yang menarik bagi saya. Terutama di akhir semester saya berada di kampus. Kebiasaan saya sering membaca sewaktu kecil yang sudah lama hilang akhirnya kembali lagi. Kini saya menemukan apa yang ingin saya lakukan. Salah satunya adalah mempelajari banyak hal di dunia sastra.

Hari ini saya akan memenuhi janji dari seorang teman yang mengajak untuk mencari buku atau sekedar melihat-lihat di salah satu toko buku yang epic di kota Yogyakarta. Toko buku itu adalah Lucky Boomerang Bookshop yang terletak di jalan Sosrowijayan GT 1/95 Gang 1 Yogyakarta.

Des. Seorang teman yang saya kenal lewat program Kuliah Kerja Nyata mengajak saya menjelajah menemukan toko buku yang katanya epic itu. Saya dan Des memiliki kesukaan yang sama, yaitu dunia sastra. Banyak hal yang dapat saya pelajari darinya tentang dunia sastra dan lain sebagainya. Terlebih dia mengambil program studi sastra inggris. Dimana sastra dan bahasa Inggris merupakan suatu hal yang menggoda untuk saya pelajari.

Berangkat dari tempat saya tinggal di Jogja, sekitar 15 menit kami sudah sampai di sekitar jalan Malioboro dengan menggunakan sepeda motor. Waktu itu ada sedikit pertanyaan ketika ingin memasuki jalan Malioboro, dimana sepeda motor boleh masuk jalan Malioboro atau tidak. Karena dulu pernah membaca suatu berita yang mengatakan Malioboro bebas dari sepeda motor.

Akan tetapi setelah melihat lalu lalang sepeda motor dan mobil yang masuk jalan Malioboro saya pikir boleh-boleh saja. Terlebih disekitar saya mengendarai banyak polisi (yang katanya sangat tertib dalam menilang) membiarkan kami masuk jalan Malioboro.

Jalan Sosrowijayan sangat mudah kita temukan. Setelah menyusuri beberapa meter jalan Malioboro dan menemukan toko Circle K di kanan jalan, kita tinggal berbelok ke kanan menuju jalan masuk yang ada di sebelah toko Circle K tersebut.

Setelah masuk jalan Sosrowijayan kita tinggal menyusuri beberapa meter lagi untuk menemukan gang 1 yang berada di kanan jalan.
Gang 1
photo via : jalan sambil jajan
Masalah selanjutnya yang saya temukan adalah bingungnya mencari tempat parkir. Jalan Sosrowijayan pun kami susuri namun tidak ada yang menyediakan parkiran sampai akhirnya ada seorang bapak-bapak yang mengatakan parkirannya ada di dalam dan mengarahkan saya dan Des masuk ke sebuah gang yang ada di kanan jalan. Gang itu kami susuri, setelah mentok hanya sebuah jalan buntu dan sekumpulan bapak-bapak yang sedang asik mengobrol.

Saya dan Des kembali lagi ke jalan utama karena parkiran nyatanya tidak kami temukan. Ketika ingin kembali, seorang bapak-bapak yang kami temui di awal tadi akhirnya mengantar kami kembali ke tempat sekumpulan bapak-bapak yang sebelumnya kami temui juga. 

Salah seorang dari bapak-bapak yang asik mengobrol tadi bertanya: "Untuk hari ini mas?". Saya pun mengiyakan walaupun masih janggal dengan pertanyaan tadi. "Memang sih, parkirnya cuma untuk hari ini tapi perasaan tidak pernah ada orang jaga parkir yang bertanya seperti itu" Batin saya. Setelah turun dari motor saya melihat kesempatan, salah satu tali sepatu saya ada yang terlepas ikatannya. Saya pun segera mengikatnya dan iseng mengikat tali sepatu saya dengan sangat lama. Biar Des teman saya yang menyelesaikannya. Karena saya sepertinya sudah menangkap pertanyaan yang diajukan bapak tadi.

Ternyata benar, pertanyaan tadi adalah tentang sewa penginapan. Saya menahan ingin tertawa dan sebelum kami pergi bapak yang bertanya tadi bilang kalau tempat parkir untuk motor memang ada di tempat parkir Abu Bakar Ali. Jalan Malioboro memang bebas dari sepeda motor, dalam artian parkir ilegal di trotoar jalan.

Setelah berputar dan memparkirkan motor di kompleks parkir Abu Bakar Ali akhirnya kami menuju ke Gang 1 Srosrowijayan lagi dengan berjalan kaki. Sebenarnya, sebelum saya pergi ke daerah Malioboro saya sudah bertanya ke grup kelas kuliah di whatsapp. Tapi tidak ada respon sama sekali. Yasudah, biarlah. Pencarian harus tetap di lanjutkan.

Finally!

Sebuah toko buku dengan papan nama toko bertuliskan "Boomerang Bookshop" berwarna putih di atas sebuah papan berwarna hitam akhirnya kami temukan. Desain yang ditawarkan Lucky Boomerang Bookshop sangat unik. Seperti mencerminkan seseorang yang mencintai dunia seni, sastra dan traveling. Sesuatu hal yang saya cintai juga. 

Lucky Boomerang Bookshop tidak hanya sekedar sebuah toko yang menyediakan buku. Namun banyak hal yang bisa kita dapatkan di sana. Mereka menyediakan postcards, kerajinan tangan, suvenir yang bisa kita beli dan bawa pulang.

Kondisi buku yang dijual di Lucky Boomerang Bookshop beragam. Ada yang baru dan ada yang bekas. Dimana buku dapat kita dapatkan dengan kualitas yang terjamin. Sekian lama saya dan Des menghabiskan banyak waktu memilih buku disana, tidak saya temukan buku yang berbahasa Indonesia. Sejauh mata memandang, semua yang saya lihat berbahasa Asing. Selain buku dengan bahasa Inggris yang mudah dan banyak saya temukan, terdapat juga buku-buku dalam bahasa Prancis, German, Belanda dan lain sebagainya.

Saya seperti menemukan sebuah harta karun yang berada di tempat yang tepat. "Buku berbahasa asing, dari luar negeri, wow!" Teriak saya dalam hati. "Pokoknya harus membeli paling tidak satu buku untuk saya bawa pulang" Pikir saya. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, saya memang suka belajar dan berbicara bahasa Inggris dalam keseharian saya. Walaupun saya belum menguasai bahasa Inggris dengan baik dan benar. Terlebih saya sangat senang berkomunikasi dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan saya. Entah itu agama, pandangan politik, negara, bahasa, budaya dan lain sebagainya.

Dengan buku, saya bisa mendapatkan kedua hal tersebut. Melatih bahasa Inggris saya dan melihat sudut pandang penulis yang memiliki latar belakang berbeda dari karya yang dia tuliskan.

Selama saya dan Des disana, kami mendapati dua orang warga negara asing yang datang dan bertanya kepada pemilik toko buku tentang bisakah dia menjual buku yang dia bawa. Jawabannya adalah iya. Lucky Boomerang Bookshop  memang sebuah toko buku yang menjual, membeli dan menukar sebuah buku. Kebanyakan dari mereka adalah traveler yang mampir ke toko buku tersebut.

Selain itu, buku yang pernah kita beli dari sana bisa kita jual kembali ke toko buku tersebut dengan dihargai separuh harga pembelian.

Setelah menghabiskan banyak waktu mencari, akhirnya saya mendapatkan sebuah buku dari Alexander McCall Smith yang bejudul The Right Attitude To Rain. Buku ke-3 dari 12 buku yang ada dalam seri Isabel Dalhousie and the Sunday Philosophy. Sedangkan Des, teman saya, membawa pulang buku berjudul A friend of earth karya Tc Boyle.

Berikut adalah sedikit gambaran tentang Lucky Boomerang Bookshop dari situs resminya. Karena saya tidak sempat membawa kamera dan selain itu ada aturan tidak boleh mengambil gambar.




Silahkan mampir dan selamat berpetualang dalam pencarian.
Read More
      edit

Selasa, 15 November 2016

Published 22.40.00 by with 0 comment

[Puisi] Selalu Terlambat

Selalu Terlambat
Kini mimpiku untuk memperjuangkanmu hanya sebuah isapan.
Ketika kau berdua, aku menunggumu dengan tenang dan sabar.
Sampai akhirnya dirimu sendiri.

Mungkin ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untukku.
Untuk mengejar dirimu, lagi.

Aku memang selalu memendam rasa kepadamu.
Walaupun terkadang aku menjauh darimu.
Aku hanya ingin memastikan rasa kasih ini.
Untuk meyakini  rasa ini datang dari Ilahi.
Bukan dari birahi
Dan ketika aku menyadari.

Kenapa aku selalu terlambat.

Aku sadar.
Kini hatimu telah menjadi milik laki-laki lain.
Lagi.
Seorang laki-laki yang ada di dekatmu.
Seorang laki-laki yang telah lama mengenalmu.

Mungkin karena kesalahanku yang terlalu menjaga jarak.
Mungkin karena kesalahanku yang tak selalu mendekat.
Mungkin juga karena kesalahanku yang tak segera beranjak menembak.

Selamat.
Kini kau berbahagia dengan kenalanku,
lagi.
Read More
      edit
Published 15.26.00 by with 0 comment

AADC 2 dan Pledoi si Jomblo

AADC 2 dan Pledoi si Jomblo
Awalnya tulisan ini akan berjudul "Kenapa Masih Sendiri? Pledoi si Jones", tapi sepertinya itu terlalu menyakitkan walaupun itu adalah sebuah kenyataan yang patut saya terima. Saya juga tak mau terlalu membela diri dengan menyebut diri saya dengan predikat single, toh kedua hal itu sama-sama tidak memiliki pasangan hidup.

Suara nada khas dari BBM muncul setelah beberapa menit saya membuat status tentang keinginan saya bertahan di Jogja. Sebuah chat masuk dari teman lama SMA dulu. Menanyakan apakah saya sedang berada di Jogja atau tidak.

Setelah memberi tahu alamat lokasi saya tinggal di Jogja, saya menantinya dengan sedikit merapikan kamar kos yang berantakan kala itu.

Obrolan seperti biasa tentang menanyakan kabar dan keberadaan teman lainnya menjadi pembuka. Membicarakan tentang hari bahagia teman SMA yang akan segera datang menjadi paragraf selanjutnya. Sampai akhirnya menanyakan pasangan satu sama lain.

"Kamu sendiri gimana?" Tanya temanku itu. Yang sebelumnya memberi tahu kalau dirinya sudah memiliki pasangan tapi enggan untuk menyebutkan nama.

"Masih jomblo, ya terakhir waktu SMA kelas dua itu sama Sia".

Saya memang sering mendapat label jomblo atau bahkan jones dari teman-teman kampus. Dimana sampai sekarang ketika saya menulis ini label itu masih enggan untuk saya pensiunkan. Karena saya pikir cinta adalah soal rasa yang berasal dari hati. Bukan hanya sekedar merubah status dari single menjadi taken dan pengalaman di masa lalu mungkin juga ikut andil dalam masalah hati ini. 

"Betah lu bhik?"

Kalimat seperti ini sering kali saya dengar atau saya baca dari banyak teman yang menanyakan keteguhan hati ini untuk menjomblo. Cuma beda nada dan susunan kalimatnya. Selebihnya sama.

Saya tersenyum dan menjawabnya dengan singkat : "Yaa, kalau dibilang pengen pacaran sih sebenarnya terkadang pengen juga".

Teman saya itu sependapat dengan saya. Entah memang dalam hatinya berkata demikian atau hanya mencoba menenangkan dengan berucap: "Iya, bisa bebas".

Pacaran di usia saya sekarang itu harus selalu memikirkan masa depan. Tidak lama pasti sang wanita bilang :"Bapak dan Ibu pengen ketemu kamu. Kamu bisa kerumah kapan?". Sedangkan perkerjaan belum ada yang mendatangkan penghasilan.

Atau paling tidak seperti ucapan ayahnya Cinta yang bilang: "Rangga, kalau kuliahnya sudah selesai cepat kembali ke Jakarta dan cari kerja. Jangan sampai Cinta menunggu kelamaan. Kasihan dia". Dimana nasib kuliah saya sekarang tak jauh beda dengan Rangga yang ada di dalam cerita. Berantakan.
Read More
      edit

Senin, 07 November 2016

Published 04.34.00 by with 0 comment

[Prosa] Kembali

Kembali
Bayangmu kini kembali. Bahkan dirimu menunggu dan menanti. Tak hanya dirimu sendiri, tapi bersama sekumpulan manusia yang sepertinya banyak aku ketahui dalam ingatan dan hati. Kau meraih tanganku dan mengajakku menyusuri alam asing ini. Suara yang khas darimu yang ku rindu itu kini menghiasi.

Kau banyak sekali berkata. Namun inilah yang ingin kurasa. Senyum di bibir ini kembali. Bahkan tawa karenamu sering menghiasi. Kini aku di dekatmu lagi.

Tidak!

Kini aku bersamu. Lagi.

Alam penuh ilalang tinggi sudah tak lagi kutemui. Genangan rawa yang kita lompati tadi sudah berlalu pergi. Kau membawa ku ke sebuah taman bermain namun tak berwahana. Sepi. Itu kesan pertama yang aku rasakan dari tempat baru ini. Seperti sebuah lahan luas yang tak pernah dikunjungi lagi.

Aku kini sadar, sekumpulan manusia yang aku lihat pertama kali bersamamu tadi hilang seperti di telan bumi. Namun kita bukanlah manusia yang tersisa di tempat ini. Aku masih melihat beberapa manusia sebaya yang saling berbicara dan terkadang menyapa. Walaupun aku tak merasa ada hawa keberadaan manusia di dalam diri mereka.

Jalan setapak dengan sungai kecil keruh di sampingnya  dan beberapa bangunan seperti ruangan kelas itu kita lalui. Kau memegang erat tanganku. Kau masih bersamaku.

Kini kau mengajakku untuk menjemput orang tuamu yang telah pulang dari tanah suci. Begitu kagetnya aku melihat waktu. Pukul dua. Aku ingin bersujud kepada-Nya dan mengajakmu. Namun kau terus memaksa. Perdebatan tak bisa kita hindari. Aku berpikir tak akan ada waktu bagiku kalau aku ikut bersamamu. Bayangan masalah dari masa lalu pun kembali.

Sampai akhirnya kau berlalu pergi. Lagi. Aku tak bermasalah dengan perpisahan. Tapi aku tak menyangka kita akan berpisah untuk kedua kali dengan cara seperti ini.

Aku marah kau lebih memilih menjemput orang tuamu daripada aku yang akan bersujud kepada-Nya. Tak bisakah kau menungguku sebentar? Hanya sedikit saja? Akupun meninggalkan tempat dimana kau meninggalkanku. Masih menyusuri jalan setapak dengan sungai keruh disampingnya. Masih menyusuri tempat yang tak terkena cahaya matahari karena pohon bambu yang begitu tinggi. Ngeri. Seperti ada yang membuntuti.

Kulangkahkan kaki ke tempat air suci. Aku lihat beberapa wanita berkerudung berpapasan dan berlalu pergi. Dua atau tiga aku rasa. Kosong. Aku tak merasakan hawa manusia dalam tubuh itu. Kenapa setiap manusia yang aku temui disini seperti boneka bertali. Entah siapa yang menggerakan di balik semua ini.

Ketika aku ingin menunduk dan menuangkan air suci, aku melihat semua yang ada di sekelilingku. Sepi. Aku sendiri. Namun seperti ada hawa yang ingin mendekati.

Semua yang aku lihat kini berubah menjadi putih.

Sunyi.

Sepi.

Putih.

Kosong.

Hitam.

Cahaya kini perlahan aku temui. Sedikit namun pasti. Cahaya ini sepertinya aku kenali. Warna putih ini juga sepertinya aku ketahui. Ku lihat semua bagian tubuh ini. Mereka semua masih dalam posisi. Perlahan tubuh ini aku gerakan. Melihat kedua telapat tangan. Masih sama, seperti yang sebelumnya aku punya.

Sepertinya aku baru saja kembali dari alam mimpi.
Read More
      edit