Ruang Kelas itu Bernama Perasaan |
Inginku untuk duduk berdua disisihmu dan bercanda gurau sampai raga ini tak lagi bernyawa. Berdua bersama. Saling membantu dan saling melengkapi. Duduk di dua bangku yang berbeda namun berada di meja yang sama. Hidup di dua peran yang berbeda namun berada di kehidupan yang sama. Kehidupan itu adalah keluarga. Aku yang akan duduk di kursi suami dan kau yang akan duduk di kursi isteri. Mungkin suatu saat kita akan duduk di bangku yang sama bersama. Atau mungkin kita akan saling bertukar bangku untuk sementara waktu.
Namun semua itu hanya sebuah kenyataan dalam khayalan. Ketika aku melihat dirimu lebih luas lagi. Ternyata dirimu sudah duduk bersama laki-laki lain. Laki-laki yang selama ini kau impikan. Seorang pendamping yang kau dambakan. Apalah dayaku yang hanya bisa melihatmu bermesraan dengan dirinya. Dihadapanku secara langsung dalam keseharianku duduk di bangku ini. Tak ada arah pandangan lain selain menatap kedepan. Setiap aku mencoba fokus untuk memandang kedepan untuk meraih masa depan, bayangmu dan bayangnya selalu nampak jelas di kedua bola mata. Aku hanya bisa memendam dan terus bertahan, mengeluarkan ekspresi datar tak berperasaan, karena itu yang bisa membuat ruang kelas ini terasa nyaman.
Aku berharap ada seseorang yang menemani duduk disampingku. Tidak membuka percakapan tapi saling menemani. Tidak membuka obrolan tapi saling mengerti. Sampai akhirnya menetertawakan apa yang aku dan orang itu lihat bersama. Tapi aku sadar, aku pengharap yang tidak tahu diri. Mana mungkin aku menjadikan orang lain sebagai pelampiasan, menjadikan orang lain hanya penghibur semata, aku harus bisa melakukannya sendiri.
Suatu ketika dalamku meraih masa depan, aku melihat sebuah pertengkaran. Pertengkaran antara dirimu dengan laki-laki impianmu. Sampai akhirnya laki-laki itu pergi meninggalkan dirimu sendiri. Kamu hanya duduk terdiam meratapi apa yang telah terjadi. Menangis tiada henti membuat ruang kelas ini begitu asing. Inginku untuk menemani dan menghiburmu, tapi apa daya hanya doa yang menghampiri. Aku memang bukan laki-laki yang berani mengungkapkan kata-kata seperti laki-laki yang ada di dalam hatimu.
Hari demi hari terlalui, bulan pun berganti, tahun yang sama pun tak lagi menemani. Sepertinya dirimu sudah terbiasa dengan kepergiaannya. Walaupun masih kutemui sajak-sajak rindumu kepada dirinya. Aku hanya manusia biasa yang juga bisa merasakan apa itu rasa cemburu. Tapi aku sadar bahwa aku tidak berhak mempunyai rasa itu. Sampai pada akhirnya aku memberanikan untuk memberimu sajak kasih yang selama ini aku simpan dalam. Walaupun pada kenyataannya sajak itu hanya aku taruh pada kolong mejamu.
Aku hanyalah seorang laki-laki yang duduk di kursi belalakang memandang ke depan. Berharap diperhatikan namun digusurkan. Laki-laki tanpa ekspresi yang ingin mengungkapkan isi hati. Surat itu tak kunjung kau baca, mungkin karena tertutupi oleh sajak-sajakmu kepada laki-laki impianmu yang kau simpan di tempat yang sama. Namun akhirnya kau menemukannya. Aku melihatnya saat kau membaca sajak-sajakku untukmu. Kamu tersenyum manis dan akhirnya kamu tahu bahwa sajak itu dariku. Raut wajahmu berubah tidak tahu harus berkata apa. Tapi dirimu memang wanita yang baik, kau datang kepadaku dan mengatakan ucapan terima kasih.
Banyak hal yang kau katakan tapi aku tidak paham. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin kau katakan. Tidak ada kata maju atau mundur. Aku hanya berkesimpulan untuk tidak bergerak maju atau mundur. Hanya berdiam diri ditempat yang sama, menunggu sepanjang waktu. Tapi ada sesuatu yang berubah. Aku masih disini duduk di bangku yang sama tapi dirimu sekarang semakin menjauh. Dirimu yang kini terhalang tembok-tembok penghalang yang kau ciptakan. Aku tidak tahu apa maksutmu, tapi aku tetap bertahan disini. Ditempat yang sama, seperti dulu.
Sampai akhirnya aku coba berjalan ke arahmu dan kamu mengatakan kepadaku untuk mundur. Mungkinkah ini jawaban darimu yang selama ini aku tunggu? Sesuatu pernyataan yang aku tunggu walaupun memang bukan suatu hal yang aku ingin dan aku dengar darimu. Tapi aku sadar aku tidak bisa hidup dengan wanita yang tidak mempunyai rasa yang sama. Aku tidak bisa hidup dengan wanita yang duduk disisihku tapi tak mengharapkan keberadaanku.
Lemas tubuh ini seketika. Kaki yang selama ini menopang kuat runtuh bagai tak bertulang. Langkah kaki ini terasa berat. Tidak tahu lagi harus melangkah kemana. Paras cantikmu yang tidak bisa membunuhku itu kini membuatku merasa mati. Perangai santunmu yang tidak bisa menghancurkanku itu kini membuatku lebur. Aku hanya duduk melamun terdiam. Memandang kosong tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pernah aku berpikir sifatmu yang mudah bergaul sedangkan aku yang pendiam ini bisa membuat kita hidup bersama dengan saling melengkapi dan mengisi. Pernah aku berpikir bahwa kesukaan dan cara pandang hidup kita yang sama akan membuat kita hidup bersama dengan arah tujuan yang tak berbeda. Pernah aku berpikir kehadiranmu yang selalu ada dalam kelompok dan tempat yang sama denganku adalah rencana Tuhan untuk menyatukan kita. Tapi aku lupa bahwa rencana Tuhan lebih luas daripada apa yang aku bayangkan. Kita memang selalu berada dalam kelompok dan tempat yang sama, tapi tidak dalam perasaan yang sama.
Waktu berlalu dan pada akhirnya kamu pergi dari ruangan kelas ini. Setiap langkah yang kau tapakan bisa aku lihat dengan jelas. Semuanya bergerak dengan perlahan. Mata ini begitu mudah menangkapnya tapi berat langkah kaki ini untuk bergerak. Sampai pada akhirnya bayangmu kini manjauh dan tak terlihat sama sekali. Semuanya pergi. Tinggal aku seorang diri dalam ruangan kelas yang kosong ini.
Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus melanjutkan hidup dan meraih apa yang aku impikan saat pertama kali melangkahkan kaki di ruang kelas ini. Aku berharap ada seseorang yang mengulurkan tangan ke arahku, menarikku keluar dari ruang kelas ini, kemudian berlari menjauh. Tapi seseorang seperti itu tidak ada. Aku sadar hanya aku sendiri yang bisa membuat diriku bergerak keluar dari ruang kelas ini.
Aku paksakan kaki ini untuk bergerak, melangkah di kehidupan baru keluar dari ruangan ini. Sampai pada akhirnya aku berada di antara lorong dan ruangan yang selama ini aku singgahi. Aku melihat lorong itu begitu panjang dan begitu gelap. Sesekali aku melihat ke dalam ruangan. Ruangan yang masih terang karena sinar buatan. Terbayang masa-masa indah dan kelam yang ada di dalamnya. Tapi semakin aku ingat hati ini terasa begitu sakit.
Kini tekad sudah aku bulatkan untuk melangkahkan kaki keluar dari ruang kelas ini. Setiap langkah aku tempuh dengan berjuangan yang besar melewati lorong gelap. Walaupun aku tidak tahu apa yang ada diluar sana dan betapa gelapnya lorong ini, tapi aku tidak mau kembali ke dalam ruang itu dan hidup seorang diri. Aku bersumpah tidak akan kembali ke ruang kelas itu dan kembali ke masa-masa yang sama. Ruangan kelas itu kini kosong. Ruang kelas itu bernama perasaan.