[Cerpen] Kata-Katamu di Malam Itu
Kata-Katamu di Malam Itu |
Berat langkah ini karena pelukan sang pasir, aku putuskan untuk duduk sebentar. Mendekap kedua kaki ditemani tumpukan ranting kering dan sekantong penuh peninggalan sang wisatawan. Aku tengok pemandangan yang berada di kiriku, melihat orang-orang yang sudah lama aku kenal. Orang-orang yang sama-sama berjuang dalam perantauan untuk mendapatkan sebuah gelar bernama anak kuliahan. Terima kasih Tuhan telah memasukan mereka ke dalam hidupku. Terlebih lagi ada dirimu disitu. Melihatmu menutup mulut saat tertawa, melihatmu yang terampil membantu teman-teman lain membuat hidangan malam, waktu seakan berhenti sesaat. Semua bergerak dengan lambat.
Mereka melambaikan tangan dan berteriak kepadaku, menyuruh diriku untuk segera bergabung menikmati santap malam. Aku hanya menjawab dengan isyarat tangan. Tanda untuk menunggu sebentar dan mempersilahkan mereka menyantap hidangan malam duluan. Aku masih betah menikmati kesunyian ini. Aku putuskan untuk merebahkan tubuhku di hamparan pasir, melihat betapa cantiknya bulan malam ini. Ditemani suara desiran ombak yang menenangkan, aku pejamkan kedua mataku. Aku taruh kedua telapak tangan menjadi bantal alas kepala. Sedikit bergerak menyesuaikan raga ini dengan kasur alam yang sangat luas. Ku rasakan hembusan angin yang menyegarkan mengenai seluruh tubuhku. Aku satukan tubuh dan raga ini denga alam, seolah beban hidup hilang seketika.
Perut ini sudah mulai mengadu, inginku segera beranjak dan menikmati hidangan malam. Kubuka mataku perlahan. Kulihat bayang-bayang yang sepertinya aku kenal. Bayang-bayang yang membuat hati ini merasa tenang, membuat diriku ini ingin tetap singgah berlama-lama. Ternyata dirimu, bidadari sang rembulan. Duduk disebelah kiriku menghadap lautan. Menikmati hembusan angin yang mengenai paras cantikmu. Belum mulut ini terbuka tapi dirimu sudah memulai pembicaraan.
"Sudah bangun?" katamu sambil tersenyum, manis sekali. Aku pun membenarkan posisiku duduk menghadap lautan sama sepertinya. "Kok disini?" kataku penasaran. Dia tersenyum lagi dan menjawab dengan menggemaskan. "Iiih... gak dijawab palah nanya balik."
"Kan bisa dilihat sendiri, lagian aku gak tidur kok, cuma tiduran aja." Jawabku.
"Iya aku tahu, masak tidur senyum-senyum." Celotehnya kesal. Aku tersenyum, ternyata dia sedari tadi memperhatikanku, pikirku.
"Jadi daritadi memperhatikan aku nih?" candaku.
"Enggak kok, tadi aku kesini mau bilang buruan makan tapi kamunya lagi tidur gak enak ganggu. Yaudah aku temenin kamunya."
"Cie perhatian banget sih tapi makasih mau nemenin," kataku, "gak ada yang marah nanti?"
"Gak ada, kamu kan tau sendiri. Eh iya kenapa eh gak nyari pacar? Biar status jomblo akutmu segera hilang dari peredaran." Dia tertawa lepas.
"Gapapa... lagian mana ada yang mau sama cowok yang gak dewasa dan kekanak-kanakan seperti aku ini." Candaku.
"Ada kok..."
Aku tersenyum dan menganggap perkataannya sebagai angin lalu. Aku tidak mau gede rasa dengan apa yang dikatakannya barusan. "Masa sih?" tanyaku bercanda.
"Masak gak percaya," katanya,"memang gak dewasa seperti apa yang kamu maksud?".
"Ya sifat kekanak-kanakanku ini, yang suka banget hujan-hujanan, tidur sembarangan seperti yang kamu lihat barusan dan ngelakuin apapun sesukanya."
"Kamu memang seperti itu, tidak ada yang salah dari apa yang kamu lakukan, bukankah itu bagian dari menikmati hidup?"
"Iya sih.." timpalku.
"Gini yaa...." dia berkata dengan lembut, "waktu kamu melakukan semua hal yang kamu sebut kekanak-kanakan tadi apa ada yang dirugikan?"
Aku hanya terdiam. Dia melanjutkan lagi. "Mungkin sebagian orang akan mengatakan kamu tidak dewasa tapi percayalah ada orang yang tetap mencintaimu dan menyayangimu dengan caramu. Tidak perlu kamu berubah menjadi orang lain. Dewasa memang banyak bentuknya. Kamu tau banyak dari mereka yang mengatakan bahwa seseorang itu dewasa tapi tidak memikirkan masa depannya. Sebagian dari mereka acuh dengan lingkungan sekitar dan tidak memiliki rencana untuk menjalani hidup. Sebagian dari mereka acuh dengan apa yang mereka kerjakan. Merokok di sembarang tempat misalnya. Mereka yang tidak dewasa dalam merawat kesehatan mereka. Bahkan aku begitu jengkel dengan para perokok yang tidak tahu tempat. Aku tidak melarang mereka merokok tapi sadarilah bahwa orang lain juga berhak untuk menikmati udara bebas dari asap rokok. Gak cuma itu tp masih banyak lagi.".
Aku terdiam melihat ke arahnya, tak mau melawan argumen-argumennya.
"Gak cuma itu!" dia berkata dengan sangat antusias melanjutkan argumennya. "Kau tahu banyak dari orang tua dan dosen juga tidak dewasa dalam bersosial media. Harusnya kan mereka bisa mengendalikan diri. Mungkin di kehidupan nyata mereka terlihat dewasa tapi di sosial media mereka berbeda. Bukankah harusnya mereka menjadi contoh?"
"Mungkin mereka kaget dengan teknologi yang baru mereka temui." Kataku bercanda. Kami berdua tertawa lepas.
"Kamu benar, mungkin mereka kaget dan lupa esensinya media sosial dengan bagaimana menggunakan media sosial dengan baik dan benar."
"Halah... kamu dulu juga paling alay," timpalku.
"Hehe... benar juga sih. Hmm... ternyata benar ya kalo dewasa itu memang sebuah proses bukan suatu paksaan."
Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Untuk beberapa waktu kami hanya berdiam menikmati suasana malam itu. Merasakan angin yang berhembus pelan, mendengarkan desiran ombak yang menentramkan dan kehangatan percakapan dalam diam.
"Udah malam kamu makan ya. Nanti aku buatkan minuman kesukaanmu. Cokelat hangat kan?"
Untuk beberapa saat aku terdiam tidak percaya dengan apa yang dikatakan barusan. Apa mungkin barusan hanya imajinasiku saja tanyaku dalam hati. Aku masih terdiam memasang muka bertanya-tanya melihat ke arah wajahnya.
"Hey... dijawab dong," katanya dengan nada sedikit kesal tapi senyum di bibirnya tetap masih menghiasi. Aku pun mengangguk tanda setuju.
"Yaudah aku kesana dulu, aku panasin airnya dulu, dan... gak usah mikirin soal hal kedewasaan tadi. Tetaplah menjadi dirimu sendiri, jangan menjadi orang lain. Bukankah kamu ingin mencintai dan dicintai sesesorang dengan utuh tak bertopeng? Saling mengerti dan memahami? Pasti ada seseorang yang bisa mengerti dan saling mengerti dengan duniamu yang unik itu." Dia tersenyum dengan manis. "Pasti ada...." Dia melanjutkan.
Aku tersenyum dan terdiam melihat ke arahnya berlalu pergi. Terpikirkan oleh setiap kata-katanya. Mungkinkah dia? Ah aku tak mau berpikir sejauh itu.
Perut ini sudah mulai mengadu, inginku segera beranjak dan menikmati hidangan malam. Kubuka mataku perlahan. Kulihat bayang-bayang yang sepertinya aku kenal. Bayang-bayang yang membuat hati ini merasa tenang, membuat diriku ini ingin tetap singgah berlama-lama. Ternyata dirimu, bidadari sang rembulan. Duduk disebelah kiriku menghadap lautan. Menikmati hembusan angin yang mengenai paras cantikmu. Belum mulut ini terbuka tapi dirimu sudah memulai pembicaraan.
"Sudah bangun?" katamu sambil tersenyum, manis sekali. Aku pun membenarkan posisiku duduk menghadap lautan sama sepertinya. "Kok disini?" kataku penasaran. Dia tersenyum lagi dan menjawab dengan menggemaskan. "Iiih... gak dijawab palah nanya balik."
"Kan bisa dilihat sendiri, lagian aku gak tidur kok, cuma tiduran aja." Jawabku.
"Iya aku tahu, masak tidur senyum-senyum." Celotehnya kesal. Aku tersenyum, ternyata dia sedari tadi memperhatikanku, pikirku.
"Jadi daritadi memperhatikan aku nih?" candaku.
"Enggak kok, tadi aku kesini mau bilang buruan makan tapi kamunya lagi tidur gak enak ganggu. Yaudah aku temenin kamunya."
"Cie perhatian banget sih tapi makasih mau nemenin," kataku, "gak ada yang marah nanti?"
"Gak ada, kamu kan tau sendiri. Eh iya kenapa eh gak nyari pacar? Biar status jomblo akutmu segera hilang dari peredaran." Dia tertawa lepas.
"Gapapa... lagian mana ada yang mau sama cowok yang gak dewasa dan kekanak-kanakan seperti aku ini." Candaku.
"Ada kok..."
Aku tersenyum dan menganggap perkataannya sebagai angin lalu. Aku tidak mau gede rasa dengan apa yang dikatakannya barusan. "Masa sih?" tanyaku bercanda.
"Masak gak percaya," katanya,"memang gak dewasa seperti apa yang kamu maksud?".
"Ya sifat kekanak-kanakanku ini, yang suka banget hujan-hujanan, tidur sembarangan seperti yang kamu lihat barusan dan ngelakuin apapun sesukanya."
"Kamu memang seperti itu, tidak ada yang salah dari apa yang kamu lakukan, bukankah itu bagian dari menikmati hidup?"
"Iya sih.." timpalku.
"Gini yaa...." dia berkata dengan lembut, "waktu kamu melakukan semua hal yang kamu sebut kekanak-kanakan tadi apa ada yang dirugikan?"
Aku hanya terdiam. Dia melanjutkan lagi. "Mungkin sebagian orang akan mengatakan kamu tidak dewasa tapi percayalah ada orang yang tetap mencintaimu dan menyayangimu dengan caramu. Tidak perlu kamu berubah menjadi orang lain. Dewasa memang banyak bentuknya. Kamu tau banyak dari mereka yang mengatakan bahwa seseorang itu dewasa tapi tidak memikirkan masa depannya. Sebagian dari mereka acuh dengan lingkungan sekitar dan tidak memiliki rencana untuk menjalani hidup. Sebagian dari mereka acuh dengan apa yang mereka kerjakan. Merokok di sembarang tempat misalnya. Mereka yang tidak dewasa dalam merawat kesehatan mereka. Bahkan aku begitu jengkel dengan para perokok yang tidak tahu tempat. Aku tidak melarang mereka merokok tapi sadarilah bahwa orang lain juga berhak untuk menikmati udara bebas dari asap rokok. Gak cuma itu tp masih banyak lagi.".
Aku terdiam melihat ke arahnya, tak mau melawan argumen-argumennya.
"Gak cuma itu!" dia berkata dengan sangat antusias melanjutkan argumennya. "Kau tahu banyak dari orang tua dan dosen juga tidak dewasa dalam bersosial media. Harusnya kan mereka bisa mengendalikan diri. Mungkin di kehidupan nyata mereka terlihat dewasa tapi di sosial media mereka berbeda. Bukankah harusnya mereka menjadi contoh?"
"Mungkin mereka kaget dengan teknologi yang baru mereka temui." Kataku bercanda. Kami berdua tertawa lepas.
"Kamu benar, mungkin mereka kaget dan lupa esensinya media sosial dengan bagaimana menggunakan media sosial dengan baik dan benar."
"Halah... kamu dulu juga paling alay," timpalku.
"Hehe... benar juga sih. Hmm... ternyata benar ya kalo dewasa itu memang sebuah proses bukan suatu paksaan."
Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Untuk beberapa waktu kami hanya berdiam menikmati suasana malam itu. Merasakan angin yang berhembus pelan, mendengarkan desiran ombak yang menentramkan dan kehangatan percakapan dalam diam.
"Udah malam kamu makan ya. Nanti aku buatkan minuman kesukaanmu. Cokelat hangat kan?"
Untuk beberapa saat aku terdiam tidak percaya dengan apa yang dikatakan barusan. Apa mungkin barusan hanya imajinasiku saja tanyaku dalam hati. Aku masih terdiam memasang muka bertanya-tanya melihat ke arah wajahnya.
"Hey... dijawab dong," katanya dengan nada sedikit kesal tapi senyum di bibirnya tetap masih menghiasi. Aku pun mengangguk tanda setuju.
"Yaudah aku kesana dulu, aku panasin airnya dulu, dan... gak usah mikirin soal hal kedewasaan tadi. Tetaplah menjadi dirimu sendiri, jangan menjadi orang lain. Bukankah kamu ingin mencintai dan dicintai sesesorang dengan utuh tak bertopeng? Saling mengerti dan memahami? Pasti ada seseorang yang bisa mengerti dan saling mengerti dengan duniamu yang unik itu." Dia tersenyum dengan manis. "Pasti ada...." Dia melanjutkan.
Aku tersenyum dan terdiam melihat ke arahnya berlalu pergi. Terpikirkan oleh setiap kata-katanya. Mungkinkah dia? Ah aku tak mau berpikir sejauh itu.
0 komentar