Berkah Pemotretan |
Motor pun di gas setelah bersiap dan sebelumnya mengajak saya untuk bergabung. Pengalaman baru, menantang dan tentu saja positif kenapa tidak? Singkirkan dulu tentang bayaran.
Jalan gang kecil dan pedesaan kami susuri dengan berharap akan lebih cepat tanpa harus bertemu kemacetan dan rute yang panjang. Mengingat posisi sekarang masih berada di sekitar kampus UGM.
Berpegang dari instruksi chat whatsapp teman yang memberi job, akhirnya jalan disusuri dengan gesitnya.
Sampai juga di sebuah rumah besar dan bertingkat. Sebuah rumah mewah yang dibangun di lingkungan pedesaan yang asri. Waktu sudah melebihi jadwal tapi sepertinya acara belum dimulai. Setelah melihat dari pintu luar yang terbuka lebar dan hanya terlihat seorang laki-laki paruh baya yang sedang menyiapkan tempat.
Datang dua orang yang menaiki sepeda motor berboncengan. Raut wajah penuh tanya ada di mimik wajah mereka. Ternyata mereka mencari alamat yang sama dengan alamat yang saya dan rekan saya cari. Nama pemilik dan ciri-ciri rumah memang sama. Sempat terbesit dalam benak apakah mereka juga fotografer yang dipanggil mengingat pekerjaan yang teman saya ambil adalah job lemparan. Karena fotografer sebelumnya sedang berhalangan.
Nyatanya setelah berbincang, mereka bukan seorang atau dua orang fotografer. Mereka adalah dua orang yang datang untuk memenuhi undangan pengajian yang beralamat sama dengan alamat yang saya dan rekan saya cari.
"Acara pengajian?" Saya dan rekan saya saling menatap dan tertawa. Bukan karena lucu tapi tertawa geleng-geleng karena bingung dengan perjanjian yang katanya acara wisudaan. Sedikit bingung juga selain karena salah acara, baju yang kita pakai pun "tidak sopan" untuk datang ke sebuah acara pengajian.
Rekan saya memakai kaos berjaket sedangkan saya memakai polo. Cukup sopan memang apa yang saya pakai tapi kami segera bergegas mencari masjid untuk berganti pakaian. Bukan untuk rekan saya, tapi untuk saya sendiri. Saya memang memakai polo tapi sebelum memakai polo saya memakai kaos hitam berlengan panjang bertuliskan "Death Fucking Vomit" di lengan kanan dan kirinya. Sebuah kaos band metal asli Yogyakarta yang saya miliki sewaktu SMA. Sudah lama saya tidak memakainya. Tapi berhubung ada pemotretan di siang bolong di bawah terik matahari dan sebelumnya berada di rumah, akhirnya saya memilihnya.
Kami pun masuk ke rumah dan acara belum dimulai karena para tamu undangan belum pada datang. Menyapa serta berkenalan dengan dua orang tadi dan pemilik rumah setelah sebelumnya berganti pakaian di WC kantor desa karena tidak menemukan masjid.
Nampak seorang laki-laki paruh baya berpeci yang sepertinya tidak asing dalam ingatan saya. Menyapa, bersalaman dan sedikit mengobrol dengan beliau. Sepertinya saya pernah melihat beliau tapi kapan dan dimananya saya tidak ingat.
Tamu udangan pun berombongan berdatangan dan acara dimulai. Saya dan rekan saya mengambil setiap momen yang ada. Termasuk memfoto laki-laki paruh baya berpeci yang akhirnya saya ketahui bahwa beliau adalah ustadz yang sering muncul di TV dangdut dan dikenal dengan nama ustadz Cinta.
Sebetulnya tidak seratus persen salah acara juga karena sejatinya sekarang adalah acara syukuran wisuda. Tapi ini membuat durasi menjadi lama ditambah acara seperti ini merupakan acara yang tidak pasti waktu mulai dan selesainya. Ditambah molornya dari waktu perjanjian. Secara profesional maka ini disebut penyewaan jasa fotografi "long time"—bukan "short time".
Namun pemotretan kali ini sungguh berkah banget. Bagaimana tidak? Lha wong sekalian mengaji. Ditambah lagi isinya tentang nasihat percintaan yang cocok banget untuk kaum jomblo seperti saya. Seperti yang dikatakan oleh pak ustadz Cinta yang juga saya yakini bahwa pertemuan ini bukan merupakan suatu kebetulan. Allah sudah mengaturnya.
Acara selesai dan uang kini sudah berada di kantong setelah sebelumnya dibagi berdua. Lumayan untuk mentraktir pacar dan jalan-jalan selain untuk ditabung. Oh iya, lupa... saya kan gak punya pacar. Yaudah ditabung dan buat makan sendiri saja.
Acara yang lain menunggu setelah sebelum pulang diminta nomornya karena dibutuhkan jasanya di acara selanjutnya.
Waktu sudah sangat sore dan perjalanan pulang diisi banyak perbincangan. Salah satunya membahas tentang rumah yang dibuat untuk pemotretan. Sebuah rumah yang dibangun dengan dana 3 Miliar yang saya dan rekan saya tahu setelah melihat artikel koran berpigura menempel di dinding salah satu tembok rumah.
"Pengen enggak punya rumah kayak gitu?"
"Enggak...." jawab saya simple. "Gak ada halamannya."
"Nanti kalau parkir ndak ngerusuhin tetangganya?" Kami berdua tertawa lepas.
0 komentar