• Home
  • Tentang
  • Cerita
  • Kepenulisan
Sukma Kurniawan. Diberdayakan oleh Blogger.
facebook twitter instagram

Jou sukma

Pergi ke Dokter THT
Kehilangan fungsi dari salah satu anggota badan itu memang suatu hal yang tidak menyenangkan. Begitupun anggota badan yang memiliki label sebagai panca indera. Tak perlu juga saya menyebutkan satu per satu anggota badan yang tergolong dalam panca indera.

Salah dua dari mereka adalah mata dan telinga. Kedua indera ini rentan untuk mengalami rasa sakit. Entah itu karena virus atau berasal dari pola hidup yang tidak baik. Kehilangan fungsi penglihatan secara normal pernah saya alami di bangku SMA. Namun hal itu sudah bisa teratasi dengan rutinnya mengedipkan mata ke sisa air teh semalam (teh basi semalam) di setiap pagi sebelum mandi. Serta mengurangi kebiasaan yang akan merusak fungsi mata.

Sejarah dengan penyakit di telinga juga memiliki cerita yang panjang. Kebiasan buruk karena terlalu sering mendengarkan musik menggunakan headset adalah salah satunya. Musik memang tidak bisa lepas dari hidup saya waktu itu. Apapun jenis alirannya. Terlebih musik metal dan hardcore, sampai suatu ketika pernah bergabung dan manggung di beberapa event sekolah dengan band yang beraliran demikian.

Belakangan ini sakit di telinga itu datang. Sudah tiga hari sakit di telinga yang sangat menyakitkan itu tak kunjung sembuh atau mereda. Menusuk dan mengeluarkan suara "nging" terus menerus. Terkadang suara "nging" itu mengeras dan rasa tertusuk itu seperti semakin dalam.

Sudah beberapa minggu suara "nging" di telinga kanan selalu mengisi setelah bangun tidur dan sudah beberapa bulan telinga sebelah kanan terasa seperti ada yang menyumbat ketika bangun tidur pula. Selama beberapa minggu dan bulan juga rasa itu akan mereda dan hilang setelah lama beraktifitas. Namun tidak dengan tiga hari belakangan ini.

Dengan melakukan tes-tes sederhana, pendengaran telinga kanan memang sangat berkurang. Tentu saja itu mengganggu ketika saya berkomunikasi. Tak hanya menurunnya pendengaran namun rasa sakit menusuk dan suara "nging" itu sangat mengganggu.

"Usia berapa?", "Dibarengi batuk pilek tidak?" itulah dua pertanyaan yang diajukan dokter spesialis THT yang saya temui di sebuah klinik.

Saya pun disuruh berbaring di sebuah kasur seperti yang berada di klinik-klinik pada umumnya. Dibantu oleh seorang asisten wanita yang juga merangkap sebagai resepsionis akhirnya telinga kanan saya diperiksa.

Semprotan air yang seharusnya menyegarkan atau mungkin mengakibatkan rasa geli nyatanya tidak saya rasakan. Namun rasa sakit yang menusuk itu yang timbul. Membuat saya meringis menahan rasa sakit. Hingga akhirnya proses selanjutnya yaitu mengeluarkan kotoran. Deretan gigi atas dan bawah saling beradu semakin menekan menahan rasa sakit. Kotoran yang lengket itu mengakibatkan proses tidak berjalan mulus dan memakan waktu. "Sumpaah ini sakiiiit bangeeeet!" batin saya. Sempat saya beberapa kali ingin bilang ke dokter untuk menghentikan aktifitas mengorek telinga kanan saya.

Kulit dalam memang begitu sensitif ditambah ada luka itu mengakibatkan tingkat kesensitifan bertambah. Otomatis rasa sakit yang timbul akan berlipat dari biasanya.

"Swooossh..." suara angin memasuki ruang-ruang dalam telinga keras terdengar setelah dokter mengeluarkan kotoran lengket yang cukup besar. Bahkan besar menurut saya. Suara itu seperti suara udara masuk lewat pintu pesawat yang terbuka ketika dalam penerbangan. Seperti suara udara yang masuk melalui lubang kamar kedap udara.

Udara itu begitu cepat memasuki telinga yang memiliki tekanan udara yang berbeda dengan udara luar. Selesai sudah serangkaian proses itu. Alhamdulillahnya hanya sebuah kotoran bukan sampai benjolan atau penyakit lainnya. Entah itu kotoran yang mengendap selama beberapa bulan atau tahun karena rasa mengganggu dan sakit ini pernah timbul ketika duduk di bangku SMA dan hanya saya biarkan begitu saja.

Kini banyak suara-suara asing yang saya dengar. Entah itu yang berasal dari luar atau dalam tubuh. Suara seperti sebuah pabrik yang mulai bekerja dan suara air mengalir mengisi pendengaran saya. Sampai akhirnya otak mulai mengenali suara asing-asing tersebut. Yang sebelumnya bahkan suara gesekan antara alas kaki dan lantai begitu bisa saya rasakan. Tidak hanya suara tapi getarannya yang sangat bisa saya rasakan.

Saya pun bertanya bagaimana cara membersihkan telinga yang benar dan dokter berkata bahwa yang dibersihkan cukup telinga bagian luar saja. Bagian dalam tidak perlu, karena itu bisa mengakibatkan kotoran masuk lebih dalam. Seperti yang saya lakukan sebelumnya yaitu menggunakan tisu dan air hangat yang nyatanya juga tak bekerja baik. Palah kotoran semakin masuk ke dalam dan menyiksa. Juga mungkin karena kebiasaan saya mendengarkan musik menggunakan headset yang mengakibatkan kotoran semakin masuk ke dalam.

Uang seratus ribu pun saya berikan ke dokter atas proses-proses yang sangat menyiksa tadi. Sesuai dengan biaya yang tertera. Juga dua ratus sepuluh ribu rupiah untuk menebus dua jenis pil yang harus saya minum agar tidak timbul infeksi. Dan menunggu tiga bulan untuk pemeriksaan ulang apakah ada infeksi atau tidak.

Berkaca dari pengalaman ini membuat saya enggan untuk mendengarkan musik atau apapun itu menggunakan headset secara berlebihan. Jangan sampai gendang telinga atau organ-organ dalam lainnya yang kena. Entah itu organ dalam telinga atau organ dalam lainnya. Cukup selama beberapa minggu ini, terlebih tiga hari terakhir saya merasakan menjadi orang yang tuli. Itu pun setengah tuli.

Tak bisa saya bayangkan mereka yang hidup dengan keterbatasan pendengaran. Saya sangat besyukur memiliki telinga yang bisa mendengar dengan baik. Dan saya bersyukur saya bisa mendengarkan lagi secara normal. Alhamdulillah.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Berkah Pemotretan
23 Nov 2016 - Siang ini setelah menyelesaikan pemotretan satu kelompok untuk buku tahunan, teman saya yang juga rekan fotografer buku tahunan mendapat pesan singkat lewat Whatsapp yang mengatakan bahwa jam 12.40 dibutuhkan jasa pemotretannya untuk acara wisuda di salah satu rumah dekat Kids Fun Yogyakarta. Sedangkan waktu sudah menunjukan sekitar pukul 12.15.

Motor pun di gas setelah bersiap dan sebelumnya mengajak saya untuk bergabung. Pengalaman baru, menantang dan tentu saja positif kenapa tidak? Singkirkan dulu tentang bayaran.

Jalan gang kecil dan pedesaan kami susuri dengan berharap akan lebih cepat tanpa harus bertemu kemacetan dan rute yang panjang. Mengingat posisi sekarang masih berada di sekitar kampus UGM.

Berpegang dari instruksi chat whatsapp teman yang memberi job, akhirnya jalan disusuri dengan gesitnya.

Sampai juga di sebuah rumah besar dan bertingkat. Sebuah rumah mewah yang dibangun di lingkungan pedesaan yang asri. Waktu sudah melebihi jadwal tapi sepertinya acara belum dimulai. Setelah melihat dari pintu luar yang terbuka lebar dan hanya terlihat seorang laki-laki paruh baya yang sedang menyiapkan tempat.

Datang dua orang yang menaiki sepeda motor berboncengan. Raut wajah penuh tanya ada di mimik wajah mereka. Ternyata mereka mencari alamat yang sama dengan alamat yang saya dan rekan saya cari. Nama pemilik dan ciri-ciri rumah memang sama. Sempat terbesit dalam benak apakah mereka juga fotografer yang dipanggil mengingat pekerjaan yang teman saya ambil adalah job lemparan. Karena fotografer sebelumnya sedang berhalangan.

Nyatanya setelah berbincang, mereka bukan seorang atau dua orang fotografer. Mereka adalah dua orang yang datang untuk memenuhi undangan pengajian yang beralamat sama dengan alamat yang saya dan rekan saya cari.

"Acara pengajian?" Saya dan rekan saya saling menatap dan tertawa. Bukan karena lucu tapi tertawa geleng-geleng karena bingung dengan perjanjian yang katanya acara wisudaan. Sedikit bingung juga selain karena salah acara, baju yang kita pakai pun "tidak sopan" untuk datang ke sebuah acara pengajian.

Rekan saya memakai kaos berjaket sedangkan saya memakai polo. Cukup sopan memang apa yang saya pakai tapi kami segera bergegas mencari masjid untuk berganti pakaian. Bukan untuk rekan saya, tapi untuk saya sendiri. Saya memang memakai polo tapi sebelum memakai polo saya memakai kaos hitam berlengan panjang bertuliskan "Death Fucking Vomit" di lengan kanan dan kirinya. Sebuah kaos band metal asli Yogyakarta yang saya miliki sewaktu SMA. Sudah lama saya tidak memakainya. Tapi berhubung ada pemotretan di siang bolong di bawah terik matahari dan sebelumnya berada di rumah, akhirnya saya memilihnya.

Kami pun masuk ke rumah dan acara belum dimulai karena para tamu undangan belum pada datang. Menyapa serta berkenalan dengan dua orang tadi dan pemilik rumah setelah sebelumnya berganti pakaian di WC kantor desa karena tidak menemukan masjid.

Nampak seorang laki-laki paruh baya berpeci yang sepertinya tidak asing dalam ingatan saya. Menyapa, bersalaman dan sedikit mengobrol dengan beliau. Sepertinya saya pernah melihat beliau tapi kapan dan dimananya saya tidak ingat.

Tamu udangan pun berombongan berdatangan dan acara dimulai. Saya dan rekan saya mengambil setiap momen yang ada. Termasuk memfoto laki-laki paruh baya berpeci yang akhirnya saya ketahui bahwa beliau adalah ustadz yang sering muncul di TV dangdut dan dikenal dengan nama ustadz Cinta.

Sebetulnya tidak seratus persen salah acara juga karena sejatinya sekarang adalah acara syukuran wisuda. Tapi ini membuat durasi menjadi lama ditambah acara seperti ini merupakan acara yang tidak pasti waktu mulai dan selesainya. Ditambah molornya dari waktu perjanjian. Secara profesional maka ini disebut penyewaan jasa fotografi "long time"—bukan "short time".

Namun pemotretan kali ini sungguh berkah banget. Bagaimana tidak? Lha wong sekalian mengaji. Ditambah lagi isinya tentang nasihat percintaan yang cocok banget untuk kaum jomblo seperti saya. Seperti yang dikatakan oleh pak ustadz Cinta yang juga saya yakini bahwa pertemuan ini bukan merupakan suatu kebetulan. Allah sudah mengaturnya.

Acara selesai dan uang kini sudah berada di kantong setelah sebelumnya dibagi berdua. Lumayan untuk mentraktir pacar dan jalan-jalan selain untuk ditabung. Oh iya, lupa... saya kan gak punya pacar. Yaudah ditabung dan buat makan sendiri saja.

Acara yang lain menunggu setelah sebelum pulang diminta nomornya karena dibutuhkan jasanya di acara selanjutnya.

Waktu sudah sangat sore dan perjalanan pulang diisi banyak perbincangan. Salah satunya membahas tentang rumah yang dibuat untuk pemotretan. Sebuah rumah yang dibangun dengan dana 3 Miliar yang saya dan rekan saya tahu setelah melihat artikel koran berpigura menempel di dinding salah satu tembok rumah.

"Pengen enggak punya rumah kayak gitu?"

"Enggak...." jawab saya simple. "Gak ada halamannya."

"Nanti kalau parkir ndak ngerusuhin tetangganya?" Kami berdua tertawa lepas.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Nasihat Ibu
Suap demi suap nasi mengisi perut menemani perbincangan dengan keluarga di malam yang tak berhujan. Di rumah memang seperti ini, ketika saya pulang ada saja pelbagai masakan dan makanan enak. Entah itu sengaja saya pesan sejak dari Jogja ataupun tidak. Maklum, ibu saya penjual nasi sayur di pinggir jalan dekat Taman Wisata Candi Borobudur. Tak terbayang badan ini akan menjadi seperti apa kalau berlama-lama berada di rumah. 

Piring kini bersih dari tumpukan hidangan. Walau porsi makan tak sebanyak laki-laki seumuran pada umumnya, tapi berbagai jenis masakan berada di atas piring. Bapak kini keluar, meninggalkan saya dan Ibu berdua di ruang keluarga. Mungkin Bapak ingin memberi makan bebek, atau mungkin juga hanya sekadar mencari udara segar.

"Dek, nanti kalau sudah lulus, pekerjaan di Kuningan tidak usah diambil saja." Ibu berkata dengan lembut. Saya memperhatikan sambil melahap cokelat sebagai makanan pencuci mulut ala-ala saya. Dulu saya pernah bilang ke Ibu dengan nada bercanda bahwa kami anak-anak magang disuruh sekalian membawa surat lamaran pekerjaan kalau mau kembali lagi ke perusahaan tempat saya dan teman-teman saya melakukan Kuliah Kerja Lapangan alias magang. Walaupun bercanda, pada kenyataannya pemimpin perusahaan memang pernah menawari hal itu.

Ibu takut kalau saya bekerja di Kuningan nanti saya bakal kecantol cewek sana yang memiliki gaya hidup dan pola hidup yang tidak disukai oleh ibu saya. Ibu memang tidak berniat menggenenalisir semua cewek di sana memiliki gaya hidup dan pola hidup yang sama. Tapi nasihat ibu bukan tanpa alasan. Karena Ibu sendiri lahir dan besar di dekat daerah Kuningan. Kemudian hidup di Magelang dan bertemu jodohnya orang Magelang, yaitu Bapak saya. 

Ini merupakan nasihat kedua yang saya ingat dari ibu tentang memilih wanita. Waktu itu entah SMP atau SMA ibu pernah bilang kalau mencari wanita itu yang berwajah manis daripada cantik. Karena wajah yang manis akan bertahan daripada cantiknya rupa dengan seiring berjalanannya waktu.

Saya dan keluarga memang sering berdiskusi dan berbincang santai tentang apa saja. Tapi untuk masalah cinta dan wanita, saya tak pernah bercerita. Hanya sekali saya bercerita kalau saya sedang suka dengan seorang wanita. Itu pun dengan kakak laki-laki saya sewaktu SMA.

Ibu dan Bapak memang selalu membebaskan anak-anaknya memilih apa saja yang mereka suka dan menjalaninya. Termasuk soal wanita. Walaupun membebaskan, tapi tentu saja kedua orang tua saya akan memberi masukan-masukan yang bisa diambil anak-anaknya. Sadari saja mereka pernah menjadi remaja sedangkan anak-anaknya belum pernah merasakan menjadi orang tua.

Jadi kalau ada orang yang bertanya wanita yang ideal buat saya seperti apa, tanya saja dengan ibu saya. Karena saya sendiri sampai sekarang belum menentukan secara spesifik wanita seperti apa yang akan saya perjuangkan. Paling akan saya jawab: berjenis kelamin wanita sejak lahir, seiman, dan sehat jasmani maupun rohani.

Ah... sebentar, sepertinya sudah ada.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ruang Kelas itu Bernama Perasaan
Aku duduk di sebuah bangku di suatu ruang kelas tempatku meraih masa depan. Mencoba memejamkan mata dan menghela nafas panjang. Setelah lelah ini menghilang, aku buka kedua mataku perlahan. Aku melihat sesuatu yang membuatku betah berlama-lama di tempat ini. Duduk di bangku ini. Tidak ada sesuatu yang lebih indah daripada melihat ciptaan-Nya. Ciptaan-Nya itu adalah dirimu. Sinar bola matamu yang menghangatkan, senyum merekah bibirmu yang manis, parasmu yang menenangkan dan perangaimu yang santun. Semua itu memenuhi hari-hariku di bangku ini. Bangku yang sama yang selalu aku singgahi.

Inginku untuk duduk berdua disisihmu dan bercanda gurau sampai raga ini tak lagi bernyawa. Berdua bersama. Saling membantu dan saling melengkapi. Duduk di dua bangku yang berbeda namun berada di meja yang sama. Hidup di dua peran yang berbeda namun berada di kehidupan yang sama. Kehidupan itu adalah keluarga. Aku yang akan duduk di kursi suami dan kau yang akan duduk di kursi isteri. Mungkin suatu saat kita akan duduk di bangku yang sama bersama. Atau mungkin kita akan saling bertukar bangku untuk sementara waktu.

Namun semua itu hanya sebuah kenyataan dalam khayalan. Ketika aku melihat dirimu lebih luas lagi. Ternyata dirimu sudah duduk bersama laki-laki lain. Laki-laki yang selama ini kau impikan. Seorang pendamping yang kau dambakan. Apalah dayaku yang hanya bisa melihatmu bermesraan dengan dirinya. Dihadapanku secara langsung dalam keseharianku duduk di bangku ini. Tak ada arah pandangan lain selain menatap kedepan. Setiap aku mencoba fokus untuk memandang kedepan untuk meraih masa depan, bayangmu dan bayangnya selalu nampak jelas di kedua bola mata. Aku hanya bisa memendam dan terus bertahan, mengeluarkan ekspresi datar tak berperasaan, karena itu yang bisa membuat ruang kelas ini terasa nyaman.

Aku berharap ada seseorang yang menemani duduk disampingku. Tidak membuka percakapan tapi saling menemani. Tidak membuka obrolan tapi saling mengerti. Sampai akhirnya menetertawakan apa yang aku dan orang itu lihat bersama. Tapi aku sadar, aku pengharap yang tidak tahu diri. Mana mungkin aku menjadikan orang lain sebagai pelampiasan, menjadikan orang lain hanya penghibur semata, aku harus bisa melakukannya sendiri.

Suatu ketika dalamku meraih masa depan, aku melihat sebuah pertengkaran. Pertengkaran antara dirimu dengan laki-laki impianmu. Sampai akhirnya laki-laki itu pergi meninggalkan dirimu sendiri. Kamu hanya duduk terdiam meratapi apa yang telah terjadi. Menangis tiada henti membuat ruang kelas ini begitu asing. Inginku untuk menemani dan menghiburmu, tapi apa daya hanya doa yang menghampiri. Aku memang bukan laki-laki yang berani mengungkapkan kata-kata seperti laki-laki yang ada di dalam hatimu.

Hari demi hari terlalui, bulan pun berganti, tahun yang sama pun tak lagi menemani. Sepertinya dirimu sudah terbiasa dengan kepergiaannya. Walaupun masih kutemui sajak-sajak rindumu kepada dirinya. Aku hanya manusia biasa yang juga bisa merasakan apa itu rasa cemburu. Tapi aku sadar bahwa aku tidak berhak mempunyai rasa itu. Sampai pada akhirnya aku memberanikan untuk memberimu sajak kasih yang selama ini aku simpan dalam. Walaupun pada kenyataannya sajak itu hanya aku taruh pada kolong mejamu.

Aku hanyalah seorang laki-laki yang duduk di kursi belalakang memandang ke depan. Berharap diperhatikan namun digusurkan. Laki-laki tanpa ekspresi yang ingin mengungkapkan isi hati. Surat itu tak kunjung kau baca, mungkin karena tertutupi oleh sajak-sajakmu kepada laki-laki impianmu yang kau simpan di tempat yang sama. Namun akhirnya kau menemukannya. Aku melihatnya saat kau membaca sajak-sajakku untukmu. Kamu tersenyum manis dan akhirnya kamu tahu bahwa sajak itu dariku. Raut wajahmu berubah tidak tahu harus berkata apa. Tapi dirimu memang wanita yang baik, kau datang kepadaku dan mengatakan ucapan terima kasih.

Banyak hal yang kau katakan tapi aku tidak paham. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin kau katakan. Tidak ada kata maju atau mundur. Aku hanya berkesimpulan untuk tidak bergerak maju atau mundur. Hanya berdiam diri ditempat yang sama, menunggu sepanjang waktu. Tapi ada sesuatu yang berubah. Aku masih disini duduk di bangku yang sama tapi dirimu sekarang semakin menjauh. Dirimu yang kini terhalang tembok-tembok penghalang yang kau ciptakan. Aku tidak tahu apa maksutmu, tapi aku tetap bertahan disini. Ditempat yang sama, seperti dulu.

Sampai akhirnya aku coba berjalan ke arahmu dan kamu mengatakan kepadaku untuk mundur. Mungkinkah ini jawaban darimu yang selama ini aku tunggu? Sesuatu pernyataan yang aku tunggu walaupun memang bukan suatu hal yang aku ingin dan aku dengar darimu. Tapi aku sadar aku tidak bisa hidup dengan wanita yang tidak mempunyai rasa yang sama. Aku tidak bisa hidup dengan wanita yang duduk disisihku tapi tak mengharapkan keberadaanku.

Lemas tubuh ini seketika. Kaki yang selama ini menopang kuat runtuh bagai tak bertulang. Langkah kaki ini terasa berat. Tidak tahu lagi harus melangkah kemana. Paras cantikmu yang tidak bisa membunuhku itu kini membuatku merasa mati. Perangai santunmu yang tidak bisa menghancurkanku itu kini membuatku lebur. Aku hanya duduk melamun terdiam. Memandang kosong tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Pernah aku berpikir sifatmu yang mudah bergaul sedangkan aku yang pendiam ini bisa membuat kita hidup bersama dengan saling melengkapi dan mengisi. Pernah aku berpikir bahwa kesukaan dan cara pandang hidup kita yang sama akan membuat kita hidup bersama dengan arah tujuan yang tak berbeda. Pernah aku berpikir kehadiranmu yang selalu ada dalam kelompok dan tempat yang sama denganku adalah rencana Tuhan untuk menyatukan kita. Tapi aku lupa bahwa rencana Tuhan lebih luas daripada apa yang aku bayangkan. Kita memang selalu berada dalam kelompok dan tempat yang sama, tapi tidak dalam perasaan yang sama.

Waktu berlalu dan pada akhirnya kamu pergi dari ruangan kelas ini. Setiap langkah yang kau tapakan bisa aku lihat dengan jelas. Semuanya bergerak dengan perlahan. Mata ini begitu mudah menangkapnya tapi berat langkah kaki ini untuk bergerak. Sampai pada akhirnya bayangmu kini manjauh dan tak terlihat sama sekali. Semuanya pergi. Tinggal aku seorang diri dalam ruangan kelas yang kosong ini.

Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus melanjutkan hidup dan meraih apa yang aku impikan saat pertama kali melangkahkan kaki di ruang kelas ini. Aku berharap ada seseorang yang mengulurkan tangan ke arahku, menarikku keluar dari ruang kelas ini, kemudian berlari menjauh. Tapi seseorang seperti itu tidak ada. Aku sadar hanya aku sendiri yang bisa membuat diriku bergerak keluar dari ruang kelas ini.

Aku paksakan kaki ini untuk bergerak, melangkah di kehidupan baru keluar dari ruangan ini. Sampai pada akhirnya aku berada di antara lorong dan ruangan yang selama ini aku singgahi. Aku melihat lorong itu begitu panjang dan begitu gelap. Sesekali aku melihat ke dalam ruangan. Ruangan yang masih terang karena sinar buatan. Terbayang masa-masa indah dan kelam yang ada di dalamnya. Tapi semakin aku ingat hati ini terasa begitu sakit.

Kini tekad sudah aku bulatkan untuk melangkahkan kaki keluar dari ruang kelas ini. Setiap langkah aku tempuh dengan berjuangan yang besar melewati lorong gelap. Walaupun aku tidak tahu apa yang ada diluar sana dan betapa gelapnya lorong ini, tapi aku tidak mau kembali ke dalam ruang itu dan hidup seorang diri. Aku bersumpah tidak akan kembali ke ruang kelas itu dan kembali ke masa-masa yang sama. Ruangan kelas itu kini kosong. Ruang kelas itu bernama perasaan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kata-Katamu di Malam Itu
Kulangkahkan kaki tak beralas ini menjauh dari bara api yang menyatukan malam dengan segerombolan orang yang merindukan kebebasan. Menjauh dari keramaian canda khas anak muda yang tak kenal kata padam. Melangkah menyusuri malam beratapkan manisnya rembulan. Mengumpulkan peninggalan-peninggalan wisatawan yang tidak tahu kata penghormatan. Para wisatawan yang lupa dengan perasaan lingkungan. Sudah kau masuki kehidupanku tanpa permisi dan setelah itu kau kotori aku kemudian pergi begitu saja, mungkin itu yang akan dikatakannya pikir candaku dalam hati.

Berat langkah ini karena pelukan sang pasir, aku putuskan untuk duduk sebentar. Mendekap kedua kaki ditemani tumpukan ranting kering dan sekantong penuh peninggalan sang wisatawan. Aku tengok pemandangan yang berada di kiriku, melihat orang-orang yang sudah lama aku kenal. Orang-orang yang sama-sama berjuang dalam perantauan untuk mendapatkan sebuah gelar bernama anak kuliahan. Terima kasih Tuhan telah memasukan mereka ke dalam hidupku. Terlebih lagi ada dirimu disitu. Melihatmu menutup mulut saat tertawa, melihatmu yang terampil membantu teman-teman lain membuat hidangan malam, waktu seakan berhenti sesaat. Semua bergerak dengan lambat.

Mereka melambaikan tangan dan berteriak kepadaku, menyuruh diriku untuk segera bergabung menikmati santap malam. Aku hanya menjawab dengan isyarat tangan. Tanda untuk menunggu sebentar dan mempersilahkan mereka menyantap hidangan malam duluan. Aku masih betah menikmati kesunyian ini. Aku putuskan untuk merebahkan tubuhku di hamparan pasir, melihat betapa cantiknya bulan malam ini. Ditemani suara desiran ombak yang menenangkan, aku pejamkan kedua mataku. Aku taruh kedua telapak tangan menjadi bantal alas kepala. Sedikit bergerak menyesuaikan raga ini dengan kasur alam yang sangat luas. Ku rasakan hembusan angin yang menyegarkan mengenai seluruh tubuhku. Aku satukan tubuh dan raga ini denga alam, seolah beban hidup hilang seketika.

Perut ini sudah mulai mengadu, inginku segera beranjak dan menikmati hidangan malam. Kubuka mataku perlahan. Kulihat bayang-bayang yang sepertinya aku kenal. Bayang-bayang yang membuat hati ini merasa tenang, membuat diriku ini ingin tetap singgah berlama-lama. Ternyata dirimu, bidadari sang rembulan. Duduk disebelah kiriku menghadap lautan. Menikmati hembusan angin yang mengenai paras cantikmu. Belum mulut ini terbuka tapi dirimu sudah memulai pembicaraan.

"Sudah bangun?" katamu sambil tersenyum, manis sekali. Aku pun membenarkan posisiku duduk menghadap lautan sama sepertinya. "Kok disini?" kataku penasaran. Dia tersenyum lagi dan menjawab dengan menggemaskan. "Iiih... gak dijawab palah nanya balik."

"Kan bisa dilihat sendiri, lagian aku gak tidur kok, cuma tiduran aja." Jawabku.

"Iya aku tahu, masak tidur senyum-senyum." Celotehnya kesal. Aku tersenyum, ternyata dia sedari tadi memperhatikanku, pikirku.

"Jadi daritadi memperhatikan aku nih?" candaku.

"Enggak kok, tadi aku  kesini mau bilang buruan makan tapi kamunya lagi tidur gak enak ganggu. Yaudah aku temenin kamunya."

"Cie perhatian banget sih tapi makasih mau nemenin," kataku, "gak ada yang marah nanti?"

"Gak ada, kamu kan tau sendiri. Eh iya kenapa eh gak nyari pacar? Biar status jomblo akutmu segera hilang dari peredaran." Dia tertawa lepas.

"Gapapa... lagian mana ada yang mau sama cowok yang gak dewasa dan kekanak-kanakan seperti aku ini." Candaku.

"Ada kok..."

Aku tersenyum dan menganggap perkataannya sebagai angin lalu. Aku tidak mau gede rasa dengan apa yang dikatakannya barusan. "Masa sih?" tanyaku bercanda.

"Masak gak percaya," katanya,"memang gak dewasa seperti apa yang kamu maksud?".

"Ya sifat kekanak-kanakanku ini, yang suka banget hujan-hujanan, tidur sembarangan seperti yang kamu lihat barusan dan ngelakuin apapun sesukanya."

"Kamu memang seperti itu, tidak ada yang salah dari apa yang kamu lakukan, bukankah itu bagian dari menikmati hidup?"

"Iya sih.." timpalku.

"Gini yaa...." dia berkata dengan lembut, "waktu kamu melakukan semua hal yang kamu sebut kekanak-kanakan tadi apa ada yang dirugikan?"

Aku hanya terdiam. Dia melanjutkan lagi. "Mungkin sebagian orang akan mengatakan kamu tidak dewasa tapi percayalah ada orang yang tetap mencintaimu dan menyayangimu dengan caramu. Tidak perlu kamu berubah menjadi orang lain. Dewasa memang banyak bentuknya. Kamu tau banyak dari mereka yang mengatakan bahwa seseorang itu dewasa tapi tidak memikirkan masa depannya. Sebagian dari mereka acuh dengan lingkungan sekitar dan tidak memiliki rencana untuk menjalani hidup. Sebagian dari mereka acuh dengan apa yang mereka kerjakan. Merokok di sembarang tempat misalnya. Mereka yang tidak dewasa dalam merawat kesehatan mereka. Bahkan aku begitu jengkel dengan para perokok yang tidak tahu tempat. Aku tidak melarang mereka merokok tapi sadarilah bahwa orang lain juga berhak untuk menikmati udara bebas dari asap rokok. Gak cuma itu tp masih banyak lagi.".

Aku terdiam melihat ke arahnya, tak mau melawan argumen-argumennya.

"Gak cuma itu!" dia berkata dengan sangat antusias melanjutkan argumennya. "Kau tahu banyak dari orang tua dan dosen juga tidak dewasa dalam bersosial media. Harusnya kan mereka bisa mengendalikan diri. Mungkin di kehidupan nyata mereka terlihat dewasa tapi di sosial media mereka berbeda. Bukankah harusnya mereka menjadi contoh?"

"Mungkin mereka kaget dengan teknologi yang baru mereka temui." Kataku bercanda. Kami berdua tertawa lepas.

"Kamu benar, mungkin mereka kaget dan lupa esensinya media sosial dengan bagaimana menggunakan media sosial dengan baik dan benar."

"Halah... kamu dulu juga paling alay," timpalku.

"Hehe... benar juga sih. Hmm... ternyata benar ya kalo dewasa itu memang sebuah proses bukan suatu paksaan."

Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Untuk beberapa waktu kami hanya berdiam menikmati suasana malam itu. Merasakan angin yang berhembus pelan, mendengarkan desiran ombak yang menentramkan dan kehangatan percakapan dalam diam.

"Udah malam kamu makan ya. Nanti aku buatkan minuman kesukaanmu. Cokelat hangat kan?"

Untuk beberapa saat aku terdiam tidak percaya dengan apa yang dikatakan barusan. Apa mungkin barusan hanya imajinasiku saja tanyaku dalam hati. Aku masih terdiam memasang muka bertanya-tanya melihat ke arah wajahnya.

"Hey... dijawab dong," katanya dengan nada sedikit kesal tapi senyum di bibirnya tetap masih menghiasi. Aku pun mengangguk tanda setuju.

"Yaudah aku kesana dulu, aku panasin airnya dulu, dan... gak usah mikirin soal hal kedewasaan tadi. Tetaplah menjadi dirimu sendiri, jangan menjadi orang lain. Bukankah kamu ingin mencintai dan dicintai sesesorang dengan utuh tak bertopeng? Saling mengerti dan memahami? Pasti ada seseorang yang bisa mengerti dan saling mengerti dengan duniamu yang unik itu." Dia tersenyum dengan manis. "Pasti ada...." Dia melanjutkan.

Aku tersenyum dan terdiam melihat ke arahnya berlalu pergi. Terpikirkan oleh setiap kata-katanya. Mungkinkah dia? Ah aku tak mau berpikir sejauh itu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jomblo Pemberani
Jomblo Pemberani

Malam ini malam yang seru,
tak seperti malam-malam di masa lalu.
Meskipun masih saja merindu,
tapi itu tak masalah buatku.

Malam ini aku sedang uji nyali,
diribuan pasang muda-mudi.
Hanya berteman alat fotografi,
aku berani.

Bukan karena aku belagu,
bukan juga karena aku tak punya rasa malu.
Hanya saja,
jomblo juga berhak merasakan malam minggu.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sajak untuk Bumi
Sajak untuk Bumi

Bahkan panas ini sunggu luar biasa.
Tapi tak tahu juga apa yang akan terjadi nanti.
Cuaca kini cepat berubah.
Beberapa menit lagi mungkin akan hujan deras seperti yang sudah-sudah.
Tapi hari ini panas, detik ini sangat panas.
Sungguh.

Cuaca tak menentu seperti ini mulai terjadi ketika aku beranjak dewasa.
Aku rasa masa kanak-kanak dulu aku tak merasakannya.
Lalu bagaimana yang akan terjadi nanti?
Saat aku menua dan tiada?
Aku tak tahu.
Tapi aku rasa waktu berlalu makhluk tak ada yang menjadi muda.
Semua menua.

Lalu bumi, apakah kau sudah menua?
Apakah kau tak kuat lagi dengan kami, manusia?
Apakah kau sudah muak dengan tingkah kami yang merusak?
Tapi sadarilah, kami semua tak sama.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sajak Terakhir
Aku selalu tersipu.
Aku selalu menunggu.
Aku selalu merindu.
Merindu, menunggu, tersipu kehadiran wanita itu.
Wanita itu kamu, sayangku.
Kamu yang sekarang membaca sajakku.
Maukah kau jadi pendampingku?
Dalam setiap sedih dan bahagiaku.
Aku harap begitu.
Apa yang aku tuliskan ini bukan bukti cintaku padamu.
Karena perlu seumur hidupku untuk membuktikan cintaku padamu.
Dariku, laki-laki yang ada di depanmu.

Wanita di depan itu berdiri. Sebelum dia akhirnya berlalu pergi, dia berkata dengan lembut : "Itu surat darinya. Laki-laki yang sama yang dulu menunggumu di kampus biru. Kalau kamu bertanya kenapa sekarang aku yang ada di depanmu, baris kesebelas dari surat itu adalah jawaban untukmu. Karena kini kau tak bisa lagi melihat kehadiran laki-laki itu."
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Catatan Pagi Berbagi
Sabtu pagi ini setelah menghabiskan banyak waktu di depan laptop, pergi keluar untuk mencari soto sepertinya suatu hal yang menyenangkan untuk sarapan. Kondisi memang sedang tidak lapar tapi sarapan sekali-sekali tak apalah pikir saya. Saya memang tidak biasa sarapan sejak duduk di bangku SMP. Sebuah kebiasaan yang tidak baik katanya. Lingkungan di sekitar kos memang banyak sekali penjual makanan yang menyuguhkan masakan enak yang ada di setiap pagi atau malamnya. Atau bahkan sepangjang hari.

Jam sudah menunjukan pukul 7 tapi suasana kos masih sepi dan banyak pintu yang masih tertutup.

Keluar gerbang, sedikit melangkahkan kaki akhirnya diri ini sudah duduk di bangku penjual soto yang dekat dengan kosan. Soto dan teman makanan lainnya seperti keripik tempe dan aneka ragam sate kini sudah dihidangkan di depan mata.

Datang sepasang laki-laki dan perempuan paruh baya yang biasa saya temui sebelum adzan Shubuh. Atau paling tidak sebelum iqomah. Dimana Shubuh belakang ini lebih awal dari biasanya. Mereka yang biasa saya temui di jalanan komplek ditemani beberapa ekor anjing peliharannya.

Tapi hari ini saya baru bertemu mereka di tempat penjual soto. Karena sebelum Shubuh ini saya masih terlelap.

Mereka adalah sepasang manusia yang mengangkut sampah setiap paginya dari rumah satu ke rumah lainnya. Sebuah pekerjaan yang sangat penting dan tidak semua orang tahu. Entah keberadaan atau kegiatan mereka. Sebuah pekerjaan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan sebuah masyarakat. Saya sebut mereka pahlawan pagi.

Sudah setengah porsi soto saya habiskan. Lewat seorang laki-laki yang sepertinya umurnya tidak jauh beda dengan kedua pahlawan pagi. Saling menyapa dan melakukan pembicaraan singkat terjadi begitu saja. Sebuah perilaku sosial yang arif yang sangat saya sukai namun jarang saya lakukan. Saya memang suka berkomunikasi dan bersosialisasi tapi untuk melakukan pembicaraan pertama atau sekedar menyapa saya rasa tidak. Sebuah kebiasaan yang muncul ketika selama beberapa tahun menyapa tapi tidak ada respon baik dari lawan bicara saya. Entah itu orang baru atau orang yang sudah lama saya kenal. Sekriminal itukah wajah saya?

Hal ini memang bukan suatu yang patut saya jadikan sebagai alasan. Sekarang saya berusaha kembali membiasakan diri dengan perilaku yang arif ini.

Selang beberapa menit bapak paruh baya yang sedang melakukan jogging pagi tadi kembali. Dimana beliau adalah dosen di salah satu universitas yang terkenal di Indonesia. Melakukan pembicaraan yang lebih lama dengan penjual soto dan kedua pahlawan pagi. Namun masih tergolong sebuah pembicaraan yang singkat.

"Nggo pak (ini pak)" Kata bapak dosen tadi sebelum langsung pergi melanjutkan kegiatan dan menyodorkan uang bergambar pahlawan bernama Igusti Ngurah Rai. Sebuah pemandangan indah yang bisa saya temui di pagi hari ini. Semoga saya bisa selalu seperti itu. Bukan mendapatkan pemberian uang tapi menjadi orang yang bisa memberi. Dimana setiap pagi pak dosen terbiasa memberi uang kepada orang yang ditemui yang menurutnya membutuhkan. Sepertinya hal ini bukan kali pertama sang pahlawan pagi mendapatkan rekeki lewat sang dosen setelah apa yang saya dengar selanjutnya.

Sebuah catatan kecil untuk saya bahwa hidup ini harus dijalani dengan arif dan bermanfaat. Dimana sang pahlawan pagi berjasa dan bermanfaat bagi masyarakat lewat apa yang mereka kerjakan demi kelangsungan hidup masyarakat. Sang dosen yang hidup dengan membawa manfaat bagi sesama. Dan mereka yang menjalani hidup arif dengan saling berkomunikasi dan menghormati.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Lika-Liku Pemotretan
18 November 2016 - Kalau sebuah hari dimulai disaat orang bangun dan beranjak dari tempat tidur, mungkin sekitar pukul 3.38 pagi bukanlah awal dari hari yang akan saya lalui. Karena pada akhirnya diri ini melanjutkan untuk kembali terlelap dan akhirnya satu jam kemudian baru beranjak dari tempat yang memiliki gaya gravitasi tinggi itu. Seperti biasa saya kurang istirahat dan terlelap di larut malam.

Setelah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan di pagi hari dan menyiapkan perlengkapan fotografi, saya bersiap untuk bergegas melakukan pengambilan foto buku tahunan. Berdua dengan rekan. Tapi setelah beberapa menit tidak kunjung datang juga yang katanya pukul tujuh.

Pengambilan gambar buku tahunan berada di sekitar rektorat Universitas Negeri Yogyakarta. Ketika sampai disana terlihat beberapa perbedaan. "Seberapa lama itukah saya tidak datang ke kampus?" pikir saya ketika melihat pembangunan gedung baru untuk S2 yang sedang dibangun dan terdapat lahan parkir baru. Cukup disayangkan, karena tempat yang dijadikan pembangunan adalah lahan hijau yang menyegarkan mata dan pikiran.

"Aah..!!!" Teriak saya disusul rekan saya. Serangan semut ngangrang menggigit kaki dan mulai merambat ke seluruh badan. Entah kenapa mereka seperti makhluk yang bisa melihat dan mengejar kami sebagai mangsa. Sepertinya kami sudah ditandai oleh mereka. Tapi anehnya yang diserang orangnya itu-itu saja. Gigitannya (kagak tahu sebutan tepatnya apa, toh walaupun semut kagak punya gigi tapi sudah biasa disebut begitu) itu lho, bisa menembus celana dan kaos kaki. Begitupun dengan rasa gigitannya. Hmm, super sekali.

Pemotretan tetap dilanjutkan dan hari ini empat kelompok berhasil di proses pengambilan gambarnya. Padahal niat awal adalah pemotretan bersama satu kelas dan pengambilan semua anggota kelompok yang berjumlah 6 kelompok. Karena beberapa alasan dari klien hal itu tidak sesuai dengan rencana.

Hari kini sudah mulai petang dan hujan pun turun dengan syahdunya. Waktu-waktu itu saya dan rekan saya habiskan di dalam kamar kos untuk melihat film dan mengedit foto ditemani camilan keripik singkong pedas.

Hal itu tak berlalu sampai larut malam seperti pengerjaan buku tahunan sebelumnya. Karena saya ada janji dengan teman-teman yang saya kenal di KKN. Untuk berbincang dan menikmati kopi bersama. Sudah beberapa pertemuan saya tidak bergabung dengan mereka. Akhirnya saya memiliki waktu untuk bergabung dengan mereka. Bukan karena saya sibuk tapi memang waktu dan tempat yang tidak berjodoh. Saya pun bergegas sendiri, setelah sebelumnya mengajak rekan saya yang menolak karena memiliki keperluan lain.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Menyendiri
Hari sudah berganti. Tapi seperti biasa, saya masih setia memandang dua buah laptop yang selalu menemani di dalam kamar sewa di Jogja. Dua laptop yang saya gunakan untuk menulis sedangkan yang satunya untuk menonton film atau sekedar mendengarkan musik kesukaan.

Pagi yang sunyi membawa otak dan hati untuk saling mengerti. Niat hati untuk menulis dua atau tiga buah cerita yang ada dalam draft. Namun akhirnya, malam yang sunyi ini membawa saya menulis sebuah prosa yang saya temukan di lembaran kertas lama. Sebuah prosa berjudul Kembali yang tidak masuk dalam rencana awal dan akhirnya saya posting di blog.

Sebuah kisah prosa yang datang dalam hidup saya. Walaupun tidak saya alami langsung secara fisik. Yah, karena itu datangnya lewat mimpi. Sebuah bunga dalam tidur. Entah kenapa terkadang saya sering terganggu dengan bayangan khayalan atau mimpi yang datang dalam tidur lelap. Karena banyak dari mereka akhirnya terjadi di dalam dunia nyata.

Setelah menunggu Shubuh dan melakukan kewajiban di pagi hari, selang kurun waktu satu jam tubuh dan mata ini tidak kuat lagi untuk terjaga. Saya pun terlelap. Sebuah penyakit kebiasaan yang datang semenjak berhadapan dengan skripsi dan semester akhir. Namun, sepertinya akhir-akhir ini sudah kembali ke kehidupan normal.

Siang ini saya menuju kampus mencoba untuk mengurus sebuah tugas akhir dan berbincang hangat dengan dosen pembimbing. Menolak ajakan teman-teman yang sering datang di hari Senin. Sebuah ajakan nonton di bioskop dengan harga yang miring. Pas untuk kantong mahasiswa. Setidaknya mahasiswa seperti saya. Walaupun saya terkadang sering tidak ikut karena urusan kantong. Sepertinya sudah beberapa minggu ini saya tidak bergabung dengan mereka. Tapi tak apalah. Biarlah.

Siang ini saya setia menunggu dosen pembimbing di depan laboratorium komputer lantai tiga. Sendiri menyendiri. Sebelumnya saya memang tidak menghubungi beliau. Dosen ini berbeda. Saya tidak perlu membuat janji untuk bertemu. Namun, penantian tak sesuai dengan harapan. Setelah beberapa mahasiswa keluar dan salah satu dari mereka berkata kepada saya kalau dosennya tidak mengajar dan kelas pun kosong. Dimana dosen yang dimaksud juga merupakan dosen pembimbing saya.

Saya memiliki kehidupan kecil yang terkadang saya lakukan. Yang membuat saya merasa tenang dan nyaman. Sebuah hal yang bisa menghibur saya. Hal itu adalah pergi sendiri ke suatu tempat baru dengan mengendari sepeda motor, bersepeda atau berjalan kaki. Kalau hal ini datang, malam hari pun saya akan berjalan menyusuri kesunyian. Mengelilingi kampus dengan berjalan kaki sendiri di malam hari pun pernah saya lakukan. Sendiri menyendiri.

Sepertinya berkeliling kota Jogja bisa sangat menyenangkan pikir saya. Setelah pikiran ini datang, membuat saya merasa tidak mau kembali dan berlama-lama di dalam kamar. Seperti ada sesuatu hal yang menekan tubuh saya kalau hal ini tidak dikeluarkan. Saya memang selalu melakukan hal ini dengan spontan dan tanpa perencanaan.

Seperti biasa, saya tidak tahu arah dan tujuan saya akan kemana. Hanya saja menghabiskan waktu di bawah sinar sore yang hangat itu sangat menyenangkan. Namun sepertinya saya sudah menemukan arah tujuan saya. Pergi ke Bantul merupakan suatu perjalanan yang akan saya tuju. Setelah menyusuri jalan menuju arah Bantul, saya pikir menuju pantai sesuatu hal yang menyenangkan. Laju motor saya hentikan. Mampir untuk sekedar membeli beberapa roti dan air mineral untuk bekal merupakan sesuatu hal yang saya perlukan.

Hujan kini turun dengan derasnya. Entah kenapa hasrat menuju pantai palah semakin kuat. Hujan deras pun saya terjang dengan santainya. Santai saja, menikmati setiap tetesan air menimpa tubuh juga suatu hal yang menyenangkan. Yah, walaupun berselimutkan mantol. Pantai Depok dekat landasan pacu lebih sepi dan nyaman daripada pantai Parangtritis saya rasa. Dengan modal perasaan, kemudi ini pun membelok ke arah Pantai Depok.

Hujan kini sedikit reda, tapi mantol tetap terjaga di atas badan. Menyelimuti tubuh yang kian merindukan hawa segar pepantaian. Pos retribusi saya lewati tanpa hambatan. Mata ini saling bertatapan dengan penjaga. Tapi mereka berdua tidak berdiri dan mencoba menghentikan. Yasudah, saya melanjutkan perjalanan.

Sampai pintu masuk landasan pacu saya tidak menemukan orang. Tidak ada yang menjaga seperti biasa dan jalan masuk terhalang gerbang dari bambu yang terkunci. Saya pun turun dari sepeda motor dan memarkirkannya di pinggir jalan. Langkah kaki ini kini menuju landasan pacu.

Desiran ombak yang mendayu-dayu saya lihat dari kejauahan dan beberapa orang akhirnya saya temukan. Beberapa motor pun saya lihat. Lewat mana mereka pikir saya. Saya pun membalikan badan menuju motor. Mencari jalan masuk yang mereka lewati.

Kini saya melangkahkan kaki kembali menuju pantai setelah memarkirkan motor di sebuah lahan kecil yang datar. Walaupun motor tidak saya masukan ke dalam daerah landasan pacu. Tak perlulah saya rasa.

Mantol yang saya bawa dengan niat awal jaga-jaga kalau hujan kini sudah berganti menjadi alas untuk tas dan sekedar untuk duduk. Tidak lengkap rasanya kalau di pantai tanpa menikmati air lautnya. Tidak perlu saya jelaskan apa yang terjadi selanjutnya.

Tubuh ini kini saya baringkan di atas mantol dan menikmati setiap momen yang Tuhan suguhkan lewat ciptaan-Nya. Kemeja panjang flanel pun saya lepas dan merasakan semilir angin pantai lebih intim.

Suasana pantai kini kian ramai. Walaupun tak seramai pantai Parangtritis saya rasa. Banyak dari mereka bersama rombongan atau hanya sekedar berdua. Sedangkan saya sendiri menyendiri menikmati sunset di tanah asing.

Matahari kian terbenam dan senja sudah tak lagi menemani. Para pelancong kini banyak yang kembali. Sedangkan saya asik melompat dari ketinggian tumpukan pasir menuju hamparan pasir pantai yang luas. Biarlah, saya bebas.

Pantai kini menyisakan tiga orang yang masih setia dengannya. Saya dan dua orang pengendara vespa yang sedari tadi berbincang di dataran pasir di atas saya tidur. Suasana semilir angin, cerahnya langit sehabis hujan, hangatnya senja, suara menenangkan dari deburan ombak yang bersahabat dan kesendirian, itulah yang sedang saya nikmati. There is a rapture on the lonely shore. Sebuah kutipan dari penyair Inggris, Lord Byron, mungkin bisa sedikit menggambarkan.

"Beneran sendiri mas?" Tanya salah satu pengendara vespa tadi. Yang sebelumnya saya dan mereka  sudah sedikit mengobrol. "Iya" Jawab saya dengan santainya.

"Lagi galau masalah cewek ya?"

Saya tertawa mendengar pertanyaan mereka. Ingin rasanya bergabung dengan mereka dan bercanda gurau menghabiskan malam. Bersama menikmati cemilan yang sebelumnya telah saya beli. Mereka pun juga sudah menawarkan rokok. Tapi niat itu saya urungkan. Saya sendiri bukan perokok tapi bukan itu alasannya. Hanya saja ada sesuatu hal yang harus segera saya kerjakan. Saya pun berpamitan dengan mereka. Hari ini sangat menggembirakan.

Entah saya orang yang introvert atau extrovet. Saya tidak mau memikirkan hal itu. Biarkanlah saya menjalani hidup tanpa harus terkekang dinding kepribadian introvert atau extrovert atau bahkan ambivert. Tak perlu saya mengakuinya, biarkan orang yang menilanya.

Namun yang pasti ketika saya bersama orang dalam lingkungan sosial masyarakat saya menikmati hal itu. Dan ketika saya sendiri menyendiri itu juga sangat saya nikmati. Karena hati ini tidak merasa sepi. Kalau hati ini merasa sepi, di keramaian pun akan merasa sendiri dan di kesunyian pun akan merasa hilang.

-7 November 2016 - 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sebuah Hadiah yang Saya Dapatkan dari Lucky Boomerang Bookshop
12 November 2016 - Dunia sastra memang sesuatu hal yang menarik bagi saya. Terutama di akhir semester saya berada di kampus. Kebiasaan saya sering membaca sewaktu kecil yang sudah lama hilang akhirnya kembali lagi. Kini saya menemukan apa yang ingin saya lakukan. Salah satunya adalah mempelajari banyak hal di dunia sastra.

Hari ini saya akan memenuhi janji dari seorang teman yang mengajak untuk mencari buku atau sekedar melihat-lihat di salah satu toko buku yang epic di kota Yogyakarta. Toko buku itu adalah Lucky Boomerang Bookshop yang terletak di jalan Sosrowijayan GT 1/95 Gang 1 Yogyakarta.

Des. Seorang teman yang saya kenal lewat program Kuliah Kerja Nyata mengajak saya menjelajah menemukan toko buku yang katanya epic itu. Saya dan Des memiliki kesukaan yang sama, yaitu dunia sastra. Banyak hal yang dapat saya pelajari darinya tentang dunia sastra dan lain sebagainya. Terlebih dia mengambil program studi sastra inggris. Dimana sastra dan bahasa Inggris merupakan suatu hal yang menggoda untuk saya pelajari.

Berangkat dari tempat saya tinggal di Jogja, sekitar 15 menit kami sudah sampai di sekitar jalan Malioboro dengan menggunakan sepeda motor. Waktu itu ada sedikit pertanyaan ketika ingin memasuki jalan Malioboro, dimana sepeda motor boleh masuk jalan Malioboro atau tidak. Karena dulu pernah membaca suatu berita yang mengatakan Malioboro bebas dari sepeda motor.

Akan tetapi setelah melihat lalu lalang sepeda motor dan mobil yang masuk jalan Malioboro saya pikir boleh-boleh saja. Terlebih disekitar saya mengendarai banyak polisi (yang katanya sangat tertib dalam menilang) membiarkan kami masuk jalan Malioboro.

Jalan Sosrowijayan sangat mudah kita temukan. Setelah menyusuri beberapa meter jalan Malioboro dan menemukan toko Circle K di kanan jalan, kita tinggal berbelok ke kanan menuju jalan masuk yang ada di sebelah toko Circle K tersebut.

Setelah masuk jalan Sosrowijayan kita tinggal menyusuri beberapa meter lagi untuk menemukan gang 1 yang berada di kanan jalan.
Gang 1
photo via : jalan sambil jajan
Masalah selanjutnya yang saya temukan adalah bingungnya mencari tempat parkir. Jalan Sosrowijayan pun kami susuri namun tidak ada yang menyediakan parkiran sampai akhirnya ada seorang bapak-bapak yang mengatakan parkirannya ada di dalam dan mengarahkan saya dan Des masuk ke sebuah gang yang ada di kanan jalan. Gang itu kami susuri, setelah mentok hanya sebuah jalan buntu dan sekumpulan bapak-bapak yang sedang asik mengobrol.

Saya dan Des kembali lagi ke jalan utama karena parkiran nyatanya tidak kami temukan. Ketika ingin kembali, seorang bapak-bapak yang kami temui di awal tadi akhirnya mengantar kami kembali ke tempat sekumpulan bapak-bapak yang sebelumnya kami temui juga. 

Salah seorang dari bapak-bapak yang asik mengobrol tadi bertanya: "Untuk hari ini mas?". Saya pun mengiyakan walaupun masih janggal dengan pertanyaan tadi. "Memang sih, parkirnya cuma untuk hari ini tapi perasaan tidak pernah ada orang jaga parkir yang bertanya seperti itu" Batin saya. Setelah turun dari motor saya melihat kesempatan, salah satu tali sepatu saya ada yang terlepas ikatannya. Saya pun segera mengikatnya dan iseng mengikat tali sepatu saya dengan sangat lama. Biar Des teman saya yang menyelesaikannya. Karena saya sepertinya sudah menangkap pertanyaan yang diajukan bapak tadi.

Ternyata benar, pertanyaan tadi adalah tentang sewa penginapan. Saya menahan ingin tertawa dan sebelum kami pergi bapak yang bertanya tadi bilang kalau tempat parkir untuk motor memang ada di tempat parkir Abu Bakar Ali. Jalan Malioboro memang bebas dari sepeda motor, dalam artian parkir ilegal di trotoar jalan.

Setelah berputar dan memparkirkan motor di kompleks parkir Abu Bakar Ali akhirnya kami menuju ke Gang 1 Srosrowijayan lagi dengan berjalan kaki. Sebenarnya, sebelum saya pergi ke daerah Malioboro saya sudah bertanya ke grup kelas kuliah di whatsapp. Tapi tidak ada respon sama sekali. Yasudah, biarlah. Pencarian harus tetap di lanjutkan.

Finally!

Sebuah toko buku dengan papan nama toko bertuliskan "Boomerang Bookshop" berwarna putih di atas sebuah papan berwarna hitam akhirnya kami temukan. Desain yang ditawarkan Lucky Boomerang Bookshop sangat unik. Seperti mencerminkan seseorang yang mencintai dunia seni, sastra dan traveling. Sesuatu hal yang saya cintai juga. 

Lucky Boomerang Bookshop tidak hanya sekedar sebuah toko yang menyediakan buku. Namun banyak hal yang bisa kita dapatkan di sana. Mereka menyediakan postcards, kerajinan tangan, suvenir yang bisa kita beli dan bawa pulang.

Kondisi buku yang dijual di Lucky Boomerang Bookshop beragam. Ada yang baru dan ada yang bekas. Dimana buku dapat kita dapatkan dengan kualitas yang terjamin. Sekian lama saya dan Des menghabiskan banyak waktu memilih buku disana, tidak saya temukan buku yang berbahasa Indonesia. Sejauh mata memandang, semua yang saya lihat berbahasa Asing. Selain buku dengan bahasa Inggris yang mudah dan banyak saya temukan, terdapat juga buku-buku dalam bahasa Prancis, German, Belanda dan lain sebagainya.

Saya seperti menemukan sebuah harta karun yang berada di tempat yang tepat. "Buku berbahasa asing, dari luar negeri, wow!" Teriak saya dalam hati. "Pokoknya harus membeli paling tidak satu buku untuk saya bawa pulang" Pikir saya. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, saya memang suka belajar dan berbicara bahasa Inggris dalam keseharian saya. Walaupun saya belum menguasai bahasa Inggris dengan baik dan benar. Terlebih saya sangat senang berkomunikasi dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan saya. Entah itu agama, pandangan politik, negara, bahasa, budaya dan lain sebagainya.

Dengan buku, saya bisa mendapatkan kedua hal tersebut. Melatih bahasa Inggris saya dan melihat sudut pandang penulis yang memiliki latar belakang berbeda dari karya yang dia tuliskan.

Selama saya dan Des disana, kami mendapati dua orang warga negara asing yang datang dan bertanya kepada pemilik toko buku tentang bisakah dia menjual buku yang dia bawa. Jawabannya adalah iya. Lucky Boomerang Bookshop  memang sebuah toko buku yang menjual, membeli dan menukar sebuah buku. Kebanyakan dari mereka adalah traveler yang mampir ke toko buku tersebut.

Selain itu, buku yang pernah kita beli dari sana bisa kita jual kembali ke toko buku tersebut dengan dihargai separuh harga pembelian.

Setelah menghabiskan banyak waktu mencari, akhirnya saya mendapatkan sebuah buku dari Alexander McCall Smith yang bejudul The Right Attitude To Rain. Buku ke-3 dari 12 buku yang ada dalam seri Isabel Dalhousie and the Sunday Philosophy. Sedangkan Des, teman saya, membawa pulang buku berjudul A friend of earth karya Tc Boyle.

Berikut adalah sedikit gambaran tentang Lucky Boomerang Bookshop dari situs resminya. Karena saya tidak sempat membawa kamera dan selain itu ada aturan tidak boleh mengambil gambar.




Silahkan mampir dan selamat berpetualang dalam pencarian.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Selalu Terlambat
Kini mimpiku untuk memperjuangkanmu hanya sebuah isapan.
Ketika kau berdua, aku menunggumu dengan tenang dan sabar.
Sampai akhirnya dirimu sendiri.

Mungkin ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untukku.
Untuk mengejar dirimu, lagi.

Aku memang selalu memendam rasa kepadamu.
Walaupun terkadang aku menjauh darimu.
Aku hanya ingin memastikan rasa kasih ini.
Untuk meyakini  rasa ini datang dari Ilahi.
Bukan dari birahi
Dan ketika aku menyadari.

Kenapa aku selalu terlambat.

Aku sadar.
Kini hatimu telah menjadi milik laki-laki lain.
Lagi.
Seorang laki-laki yang ada di dekatmu.
Seorang laki-laki yang telah lama mengenalmu.

Mungkin karena kesalahanku yang terlalu menjaga jarak.
Mungkin karena kesalahanku yang tak selalu mendekat.
Mungkin juga karena kesalahanku yang tak segera beranjak menembak.

Selamat.
Kini kau berbahagia dengan kenalanku,
lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
AADC 2 dan Pledoi si Jomblo
Awalnya tulisan ini akan berjudul "Kenapa Masih Sendiri? Pledoi si Jones", tapi sepertinya itu terlalu menyakitkan walaupun itu adalah sebuah kenyataan yang patut saya terima. Saya juga tak mau terlalu membela diri dengan menyebut diri saya dengan predikat single, toh kedua hal itu sama-sama tidak memiliki pasangan hidup.

Suara nada khas dari BBM muncul setelah beberapa menit saya membuat status tentang keinginan saya bertahan di Jogja. Sebuah chat masuk dari teman lama SMA dulu. Menanyakan apakah saya sedang berada di Jogja atau tidak.

Setelah memberi tahu alamat lokasi saya tinggal di Jogja, saya menantinya dengan sedikit merapikan kamar kos yang berantakan kala itu.

Obrolan seperti biasa tentang menanyakan kabar dan keberadaan teman lainnya menjadi pembuka. Membicarakan tentang hari bahagia teman SMA yang akan segera datang menjadi paragraf selanjutnya. Sampai akhirnya menanyakan pasangan satu sama lain.

"Kamu sendiri gimana?" Tanya temanku itu. Yang sebelumnya memberi tahu kalau dirinya sudah memiliki pasangan tapi enggan untuk menyebutkan nama.

"Masih jomblo, ya terakhir waktu SMA kelas dua itu sama Sia".

Saya memang sering mendapat label jomblo atau bahkan jones dari teman-teman kampus. Dimana sampai sekarang ketika saya menulis ini label itu masih enggan untuk saya pensiunkan. Karena saya pikir cinta adalah soal rasa yang berasal dari hati. Bukan hanya sekedar merubah status dari single menjadi taken dan pengalaman di masa lalu mungkin juga ikut andil dalam masalah hati ini. 

"Betah lu bhik?"

Kalimat seperti ini sering kali saya dengar atau saya baca dari banyak teman yang menanyakan keteguhan hati ini untuk menjomblo. Cuma beda nada dan susunan kalimatnya. Selebihnya sama.

Saya tersenyum dan menjawabnya dengan singkat : "Yaa, kalau dibilang pengen pacaran sih sebenarnya terkadang pengen juga".

Teman saya itu sependapat dengan saya. Entah memang dalam hatinya berkata demikian atau hanya mencoba menenangkan dengan berucap: "Iya, bisa bebas".

Pacaran di usia saya sekarang itu harus selalu memikirkan masa depan. Tidak lama pasti sang wanita bilang :"Bapak dan Ibu pengen ketemu kamu. Kamu bisa kerumah kapan?". Sedangkan perkerjaan belum ada yang mendatangkan penghasilan.

Atau paling tidak seperti ucapan ayahnya Cinta yang bilang: "Rangga, kalau kuliahnya sudah selesai cepat kembali ke Jakarta dan cari kerja. Jangan sampai Cinta menunggu kelamaan. Kasihan dia". Dimana nasib kuliah saya sekarang tak jauh beda dengan Rangga yang ada di dalam cerita. Berantakan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kembali
Bayangmu kini kembali. Bahkan dirimu menunggu dan menanti. Tak hanya dirimu sendiri, tapi bersama sekumpulan manusia yang sepertinya banyak aku ketahui dalam ingatan dan hati. Kau meraih tanganku dan mengajakku menyusuri alam asing ini. Suara yang khas darimu yang ku rindu itu kini menghiasi.

Kau banyak sekali berkata. Namun inilah yang ingin kurasa. Senyum di bibir ini kembali. Bahkan tawa karenamu sering menghiasi. Kini aku di dekatmu lagi.

Tidak!

Kini aku bersamu. Lagi.

Alam penuh ilalang tinggi sudah tak lagi kutemui. Genangan rawa yang kita lompati tadi sudah berlalu pergi. Kau membawa ku ke sebuah taman bermain namun tak berwahana. Sepi. Itu kesan pertama yang aku rasakan dari tempat baru ini. Seperti sebuah lahan luas yang tak pernah dikunjungi lagi.

Aku kini sadar, sekumpulan manusia yang aku lihat pertama kali bersamamu tadi hilang seperti di telan bumi. Namun kita bukanlah manusia yang tersisa di tempat ini. Aku masih melihat beberapa manusia sebaya yang saling berbicara dan terkadang menyapa. Walaupun aku tak merasa ada hawa keberadaan manusia di dalam diri mereka.

Jalan setapak dengan sungai kecil keruh di sampingnya  dan beberapa bangunan seperti ruangan kelas itu kita lalui. Kau memegang erat tanganku. Kau masih bersamaku.

Kini kau mengajakku untuk menjemput orang tuamu yang telah pulang dari tanah suci. Begitu kagetnya aku melihat waktu. Pukul dua. Aku ingin bersujud kepada-Nya dan mengajakmu. Namun kau terus memaksa. Perdebatan tak bisa kita hindari. Aku berpikir tak akan ada waktu bagiku kalau aku ikut bersamamu. Bayangan masalah dari masa lalu pun kembali.

Sampai akhirnya kau berlalu pergi. Lagi. Aku tak bermasalah dengan perpisahan. Tapi aku tak menyangka kita akan berpisah untuk kedua kali dengan cara seperti ini.

Aku marah kau lebih memilih menjemput orang tuamu daripada aku yang akan bersujud kepada-Nya. Tak bisakah kau menungguku sebentar? Hanya sedikit saja? Akupun meninggalkan tempat dimana kau meninggalkanku. Masih menyusuri jalan setapak dengan sungai keruh disampingnya. Masih menyusuri tempat yang tak terkena cahaya matahari karena pohon bambu yang begitu tinggi. Ngeri. Seperti ada yang membuntuti.

Kulangkahkan kaki ke tempat air suci. Aku lihat beberapa wanita berkerudung berpapasan dan berlalu pergi. Dua atau tiga aku rasa. Kosong. Aku tak merasakan hawa manusia dalam tubuh itu. Kenapa setiap manusia yang aku temui disini seperti boneka bertali. Entah siapa yang menggerakan di balik semua ini.

Ketika aku ingin menunduk dan menuangkan air suci, aku melihat semua yang ada di sekelilingku. Sepi. Aku sendiri. Namun seperti ada hawa yang ingin mendekati.

Semua yang aku lihat kini berubah menjadi putih.

Sunyi.

Sepi.

Putih.

Kosong.

Hitam.

Cahaya kini perlahan aku temui. Sedikit namun pasti. Cahaya ini sepertinya aku kenali. Warna putih ini juga sepertinya aku ketahui. Ku lihat semua bagian tubuh ini. Mereka semua masih dalam posisi. Perlahan tubuh ini aku gerakan. Melihat kedua telapat tangan. Masih sama, seperti yang sebelumnya aku punya.

Sepertinya aku baru saja kembali dari alam mimpi.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Selamat Menempuh Hidup Baru
Setiap generasi pasti memiliki tahap dan fase yang akan terjadi dalam kehidupan generasi itu sendiri. Dimana "pasti" ini bukan berarti suatu hal yang mutlak. You know what? End of the world maybe—sesuatu hal yang mengakibatkan pasti menjadi tidak mutlak.

Akan tetapi tahap dan fase yang "pasti" tadi tidak selalu bisa datang di kehidupan manusia yang ada di dalam generasi itu. Mungkin karena kematian atau alasan lainnya.

Saya lahir di generasi awal 90an. Tak perlu juga saya ngasih tau tepatnya kapan kan? Sekarang sudah tahun 2016, hampir 2017. Dimana tahap dan fase yang akan datang atau yang sedang terjadi sekarang dalam hidup saya adalah munculnya banyak undangan dari beberapa teman tentang hari bahagianya.

Ada beberapa teman juga yang sudah melangsungkan pernikahan di usia sangat muda dan ada juga yang berencana menikah di atas kepala tiga. Tapi, saya sendiri setuju bahwa empat tahun dari sekarang adalah "tahun emas" untuk melangsungkan pernikahan.

Terus, apakah itu akan terjadi sama saya?

Saya pikir pernah saya tulis di salah satu prosa curhatan "Aku: Apakah Kita Ada?".

Saya terkadang masih terbayang kontradiksi tentang konsep jodoh yang tidak jauh dari dunia percintaan, pacaran dan pernikahan yang sering menggalaukan saya dulu. Bukan berarti sekarang saya sudah mendapatkan jawaban dan tidak menggalaukannya lagi, hanya saja memang saya tidak mencoba memikirkannya. Alasannya simple, hal itu bukan prioritas yang saya kejar sekarang dan beberapa hal yang mengakibatkan saya memilih jalan ini sekarang.

Ada golongan yang mengatakan jodoh itu gak usah dicari, nanti juga datang sendiri. Sedangkan golongan yang lain mengatakan kalau jodoh itu harus dicari. Ada golongan yang mengatakan jodoh itu gak kemana. Sedangkan golongan yang lain  mengatakan kita harus kemana-mana supaya mendapatkan jodoh. Ada golongan yang mengatakan jodoh itu sudah tertulis pasti. Sedangkan golongan lain mengatakan jodoh itu belum pasti, manusia itulah yang memastikan. Ada golongan yang mengatakan jodoh itu Tuhan yang menentukan. Sedangkan golongan lain mengatakan kita yang menentukan, Tuhan yang merestui.

Dan beberapa kontradiksi lain yang masuk akal. Terus, saya masuk golongan mana? Saya sendiri masuk golongan yang makan popcorn dan melihat mereka saling berdebat argumen.

Kontradiksi itu hanya sebagian kecil yang pernah saya galauin tentang konsep jodoh.

Saya sendiri masih bingung dengan yang dimaksud jodoh. Apakah jodoh dan belahan jiwa itu hanya satu orang saja? Ada beberapa hal juga yang sering saya pikirkan dulu. Mungkin kamu juga pernah memikirkannya.

1. Jika seseorang laki-laki berpoligami dan memiliki isteri lebih dari satu, lalu manakah jodoh yang sebenarnya?
2. Jika ada manusia yang pernah menikah kemudian dia menikah lagi karena kematian atau perceraian, lalu yang mana dikatakan jodohnya? Yang pertama atau berikutnya?
3. Jika ada manusia yang pernah menikah kemudian bercerai, lalu apakah dia tidak memiliki jodoh?
4. Kalau ada seorang manusia yang belum menikah sampai akhirnya ajal menjemputnya, apakah dia gak memiliki jodoh di dunia?
5. Kalau ada seorang laki-laki yang sudah ditetapkan menjadi pasangan seorang wanita oleh Tuhan, kemudian seiring berjalannya waktu laki-laki itu mati karena di bunuh oleh seseorang. Lalu apakah si wanita itu tidak memiliki jodohnya (dalam artian dipersatukan)?
6. Kalau kemudian (no.5) akhirnya si wanita mendapatkan pasangan hidup, apakah dia merebut jodoh orang lain atau memang dia memiliki jodoh lebih dari satu?
7. Kalau kita dalam menikah berlandaskan paksaan bukan karena keikhlasan, apakah itu jodoh?

Setelah saya bertanya-tanya tentang konsep jodoh di atas, saya juga terpikirkan tentang ciri-ciri dari cinta sejati itu seperti apa. Mereka bilang cinta sejati itu :

1. Cinta sejati itu katanya yang bisa menerima kita apa adanya.
2. Cinta sejati itu katanya yang membuat kita bisa menjadi diri sendiri.
3. Cinta sejati itu katanya yang membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik.
4. Cinta sejati itu katanya yang bisa saling melengkapi.
Dan masih banyak lainnya.

Tapi saya sendiri palah berpikir bahwa bahasan tentang ciri-ciri cinta sejati yang saya tuliskan di atas hanya sebuah keinginan dan harapan orang yang mengatakannya saja. Bukan berarti saya menolak pendapat-pendapat itu, tentu saja saya sangat bersyukur jika memang saya mendapatkan wanita yang memiliki ciri-ciri di atas. Hanya saja saya masih bingung dan menggalaukannya bukan?

Walaupun sekarang tidak terlalu memikirkan hal itu, dimana saya menjadi golongan pemakan popcorn tapi saya sendiri sependapat jika jodoh itu memang bagian dari rejeki. Kalau jodoh itu bagian dari rejeki berarti kita harus berusaha bukan? Seperti halnya saya saat ini yang sedang memperjuangkan skripsi. Kalau skripsinya tidak saya buat kan tidak akan selesai. Kalaupun skripsinya lancar tapi tidak pernah di konsultasikan sama saja gak bakal selesai. Itu pun masih ada tahap-tahap lainnya. Doakan saya yak, yang lain udah pada lulus dan kerja tuh. Hemm.

Jodoh itu terkadang lucu, yang diperjuangkan mati-matian tidak kita dapatkan sedangkan saat kita beristirahat ada yang menemani dan akhirnya dikatakan sebagai "jodoh". Itu membuktikan kalau jodoh itu sudah ada yang mengatur tapi ada usaha keluar untuk mengejar. Walaupun bukan orang yang pertama kita inginkan. Terus kalau kita menolak orang itu gimana? Terus kalau kita berhasil mengejar orang itu? Terus kalau kita akhirnya pergi dan suatu waktu seseorang yang kita kejar dulu kembali dan mencari gimana? Entah itu berakhir bahagia ataupun kelam (lagi)?

Gimana suk? suk? Gimana? Arghhhh...! Pusing juga daku ini.

Kita memang sering menggalaukan mana yang IYA, mana yang TIDAK, dan mana yang BELUM.

Tuhan bisa berkata IYA ini jodoh kamu.
Tuhan bisa berkata TIDAK ini bukan jodoh kamu.
Atau Tuhan berkata BELUM, sekarang belum saatnya kamu bersama dengannya.

Saya sendiri meyakini setiap orang memiliki jalan masing-masing dan akan mendapatkan jawaban yang prosesnya tak selalu sama dengan orang lain. Entah kenapa proses mencari jawaban ini menyenangkan walaupun terkadang membuat pusing dan saya terima begitu saja.

Ada satu kisah lagi yang lucu tentang jodoh dengan analogi seorang pendaki. Ada pendaki yang ingin berjuang bersama dengan pasangan pendakiannya dari basecamp. Ada pendaki yang akhirnya justru harus melepaskan pasangan pendakiannya setelah dia berada di puncak atau dalam perjalanan. Ada pendaki yang menunggu pasangannya di puncak. Ada pendaki yang akhirnya tumbang. Tapi, ada juga pendaki yang berjuang sendiri sampai akhirnya di perjalanan menuju puncak dia bertemu dengan pasangannya yang sama-sama berjuang. Jangan lupa dalam mendaki kita juga harus menikmati proses dan pemandangan yang Tuhan suguhkan.

Saya dulu selalu bermimpi memiliki pasangan yang memulai bersama dari titik nol sampai akhirnya mencapai puncak kesuksesan bersama. Sangat indah dan penuh cerita bukan? Tapi sekarang saya adalah pendaki yang berjuang sendiri menuju puncak dan berharap bertemu dengan seorang yang memiliki mimpi yang sama. Iya, mimpi. Tuhan memang tidak selalu mengabulkan apa yang kita inginkan, tapi Tuhan selalu mengabulkan apa yang kita butuhkan kok.
"Halah, alasan! Kamu ngomong gitu karena kamu jomblo kan? Jones palah!"
Hem.. oke-oke, saya memang jones, puas? Sedih aku. Hiks.

Ketika nanti pada akhirnya kita menemukan jodoh satu hal yang pasti yaitu kita harus menjaga jodoh yang menjadi pasangan kita itu. Tidak hanya membiarkan dan melepaskan begitu saja. Semua yang kita dapatkan adalah ujian. Karena sejatinya ujian tidak hanya datang saat kita sedih, tapi juga bahagia. Dimana saat bahagia apakah kita dapat bersyukur dan lain sebagainya.

Saya juga terkadang berpikir apakah Tuhan membiarkan kita mendapat pasangan yang salah karena usaha ngotot kita? Seperti halnya Tuhan membiarkan kita saat berbuat dosa? Agar kita berpikir dan semua ini adalah bagian dari ujian-Nya. Karena pada akhirnya yang menjalani setiap keputusan yang kita ambil adalah kita sendiri. Hemm.. berat pak!

Saya percaya dengan takdir dan sangat tidak percaya dengan kebetulan. Lalu jodoh itu suatu takdir yang bisa dirubah atau sudah mutlak? Hemm, saya pun masih bertanya-tanya.

Selamat menempuh hidup baru buat teman-teman yang sudah mendapatkan jodohnya. Jangan lupa untuk saling menjaga, mengisi dan berbagi. Semoga menjadi keluarga yang penuh dengan kedamaian, cinta dan kasih sayang. Maaf kalau gak bisa datang dan kemungkinan sangat tidak akan datang kalau tidak dapat undangan secara personal. Mungkin ada alasan tertentu. Saya mengerti itu, walaupun saya tidak ada dalam undangan tapi doa saya menyertai kebahagiaan kalian.

Yang belum bertemu (dipersatukan) dengan jodohnya kamu gak sendirian kok. Hahaha. Semoga lekas dipersatukan bagi yang ingin segera dipersatukan.

Aamiin :D
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Kontak

  • facebook
  • twitter
  • instagram

Pengikut Via E-mail

Sekilas Informasi

 


Categories

board game catatan cerita cerpen doa DYM fotografi gunung instagram islam karya sastra keluarga kepenulisan kerja kuliah makanan pantai pernikahan prosa puisi quotes rafting sastra sejarah sungai sunrise tempat bersejarah traveling tutorial video wallpaper

recent posts

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  Desember 2022 (1)
  • ►  2021 (1)
    • ►  April 2021 (1)
  • ►  2020 (2)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
  • ►  2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  Desember 2017 (2)
    • ►  Juli 2017 (1)
    • ►  Januari 2017 (1)
  • ▼  2016 (50)
    • ▼  Desember 2016 (3)
      • Pergi ke Dokter THT
      • Berkah Pemotretan
      • Nasihat Ibu
    • ►  November 2016 (12)
      • [Cerpen] Ruang Kelas itu Bernama Perasaan
      • [Cerpen] Kata-Katamu di Malam Itu
      • [Puisi] Jomblo Pemberani
      • [Puisi] Sajak Untuk Bumi
      • [Cerpen] Sajak Terakhir
      • Catatan Pagi Berbagi
      • Lika-Liku Pemotretan
      • Menyendiri
      • The Lucky Boomerang Bookshop dan Sebuah Perjalanan...
      • [Puisi] Selalu Terlambat
      • AADC 2 dan Pledoi si Jomblo
      • [Prosa] Kembali
    • ►  Oktober 2016 (14)
      • Selamat Menempuh Hidup Baru
    • ►  September 2016 (5)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (3)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  April 2016 (9)

Created with by ThemeXpose