Memoar KKN, Tentang Cinta |
Di tempatku mengabdi juga banyak kisah cinta di dalamnya. Salah satunya adalah kisah seorang pemuda terhadap anggota peserta pengabdian. Banyak sekali pujangga yang mengirimkan syair-syairnya. Mendatangi pos perisitirahatan dengan membawa penuh harapan. Ada yang berhasil menaklukan, ada juga yang berakhir dengan kesedihan yang teramat dalam.
Tapi hati-hati terhadap cinta pengabdian. Mereka tak ubahnya pisau yang siap-siap mencelakakan. Banyak kisah cinta yang dibangun begitu lama akhirnya kandas ketika bertemu seseorang yang baru di tempat pengabdian. Atau kisah lain tentang perselisihan merebutkan sang pujangga hati. Yang nanti akan membuat suasana pengabdian begitu "busuk". Aku sendiri tak suka dengan hal semacam itu. Mereka berlarut-larut terus membusuk bersama. Membuat baunya mengganggu orang yang ada disekitarnya. Memang soal perasaan dan hati bukanlah suatu hal yang mudah. Aku pun mencoba memahami. Cinta di pengabdian juga bisa mendatangkan kemurkaan Allah. Mereka lupa dan orang lain buta. Kalau sudah seperti itu, waktu tak bisa diputar kembali. Maka dari itu berhati-hatilah dengan cinta di pengabdian.
Lalu bagaimana dengan kisah cintaku? Ah, mungkin tak seindah dengan kisah cintamu. Waktu itu, aku menjadi seorang pujangga amatir yang selalu mengirimkan sajak-sajak penuh pengharapan kepada wanita yang sudah lama aku kenal. Seorang wanita yang aku temui di bangku SMA. Sudah pernah aku ungkapkan rasa cintaku dan kasihku kepadanya. Tapi semua itu tak ubahnya tetesan-tetesan air yang jatuh di padang Sahara—menghilang sudah. Sudah tiga semester berlalu tapi hati ini masih saja sama, tak ubahnya ketika aku bertemu pertama dengannya. Sampai pada akhirnya, ketika air terakhir keluar dari kedua mata, melihat jawaban yang ada di depan layar kaca. Semua duri di padang Sahara seolah menghujam keras hati dan menyayatnya. Aku hanya bisa mengalihkan pandangan dari keramaian dan mengusap semua rasa sedih itu.
Lalu bagaimana dengan kisah cintaku? Ah, mungkin tak seindah dengan kisah cintamu. Waktu itu, aku menjadi seorang pujangga amatir yang selalu mengirimkan sajak-sajak penuh pengharapan kepada wanita yang sudah lama aku kenal. Seorang wanita yang aku temui di bangku SMA. Sudah pernah aku ungkapkan rasa cintaku dan kasihku kepadanya. Tapi semua itu tak ubahnya tetesan-tetesan air yang jatuh di padang Sahara—menghilang sudah. Sudah tiga semester berlalu tapi hati ini masih saja sama, tak ubahnya ketika aku bertemu pertama dengannya. Sampai pada akhirnya, ketika air terakhir keluar dari kedua mata, melihat jawaban yang ada di depan layar kaca. Semua duri di padang Sahara seolah menghujam keras hati dan menyayatnya. Aku hanya bisa mengalihkan pandangan dari keramaian dan mengusap semua rasa sedih itu.
Ada seorang teman yang mengetahui hal itu tapi aku hanya diam. Sampai akhirnya di tempat peraduan aku menceritakan kisahku layaknya cerita 1001 malam. Ternyata laki-laki seperti diriku juga butuh bercerita. Tak ada air mata di dalamnya, mungkin aku sudah bisa menerima. Karena memang aku tidak suka membusuk dan mengganggu orang-orang di sekitarku.
Aku sudah melupakannya, sampai akhirnya aku terlalu melupakannya. Aku tak ingat lagi bagaimana perasaanku waktu itu. Aku tak ingat lagi bagaimana nikmatnya berjuang kala itu. Aku hanya ingat pernah mencintai wanita itu. Tapi hati ini seperti membeku. Tak ingat lagi bagaimana caranya mencintai seorang wanita lagi. Tapi bukan berarti aku tak tertarik lagi dengan wanita.
Ada beberapa wanita yang membuat mata ini melirik tapi hati ini tak tertarik. Mungkin juga ada wanita yang bisa melihat dalamnya isi hati. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang menahannya. Apakah ini hukuman dari Mu Ya Allah? Karena telah terlalu berharap dengan seseorang? Jika memang seperti itu, aku menerima ujian-Mu ini. Tapi ijinkan aku untuk menggunakan hati ini lagi. Jatuhkan sejatuh-jatuhnya perasaan ini kepada seorang wanita yang memang benar Kau janjikan waktu itu. Yang aku tak tahu siapa namanya, dari mana asalnya atau apapun yang ada dalam dirinya. Tapi jadikan jatuhku kali ini jatuh di atas ridha-Mu.
Sebenarnya, kisah cinta di pengabdianku tak semuanya berwarna hitam. Banyak sekali warna yang ada di dalamnya. Warna yang diberikan oleh teman-teman seperjuangan dalam pengabdian. Begitu pun dengan kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh warga dan pembimbing. Keceriaan bersama dengan mereka, begitupun dengan momen haru ketika perpisahan.
0 komentar