Analogi Hati dan Lidah
Analogi Hati dan Lidah |
Hati (perasaan-red) dan lidah tak ubahnya pinang dibelah
dua. Kedua hal tersebut sama-sama bisa menilai suatu objek tertentu. Menilai
dengan predikat baik dan buruk, benar dan salah, kemudian memilih dan memilah mana
yang sesuai atau tidak sesuai menurut setiap individu pemilik hati
(perasaan-red) dan lidah.
Banyak indikator seseorang dalam menilai suatu hal yang
kemudian menimbulkan banyak penilaian yang berbeda dari setiap individu pemilik
hati dan lidah. Entah itu negara, suku, ras, agama, budaya, pengalaman, ilmu,
belajar dan lain sebagainya. Namun, dari semua indikator itu sejatinya terbagi
menjadi dua latar belakang. Yaitu latar belakang asal dan latar belakang
proses. Dua latar belakang inilah yang nantinya membangun sebuah penilaian.
Latar belakang asal adalah suatu keterangan yang menjelaskan
keadaan awal. Dalam konteks ini adalah keadawaan awal individu pemilik hati
(perasaan-red) dan lidah. Sedangkan latar belakang proses adalah keadaan dimana
individu pemilik hati (perasaan-red) dan lidah sudah mengalami kontak dengan indikator-indikator di luar
latar belakang asalnya.
Kita ambil contoh dalam latar belakang asal yaitu sebuah
indikator kelahiran. Individu yang lahir di suatu negara di Eropa dan di
Indonesia akan memiliki perspektif sendiri dalam menilai suatu objek atau
kejadian tertentu.
Orang Indonesia yang terlahir di sebuah wilayah yang kaya
akan emas hijau yaitu rempah-rempah kebanyakan akan menyukai masakan dengan
cita rasa yang kaya. Percampuran dari satu bumbu dengan bumbu lainnya. Atau
cotoh lainnya adalah rasa pedas. Berbeda dengan individu yang terlahir di suatu
negara di Eropa kebanyakan dari mereka tidak menyukai rasa pedas. Contoh
lainnnya adalah penilaian tentang buah durian. Yang mana di Indonesia terkenal
dengan sebutan rajanya buah. Kebanyakan orang Indonesia menyukai rasa dan
tekstur dari buah durian sedangkan hal tersebut berbanding terbalik dengan apa
yang dirasakan oleh kebanyakan orang yang terlahir dan besar di salah satu
negara di Eropa.
Begitupun penilaian yang menggunakan hati (perasaan-red).
Salah satu objeknya adalah yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat. Kita
ambil contoh sebuah kejadian dimana seorang istri mencium tangan suami. Menurut
penilaian orang Indonesia itu merupakan suatu yang wajar. Bentuk cinta dan kasih
sayang dari seorang istri kepada suami, pun sebaliknya. Namun bisa berbeda
menurut pandangan individu yang terlahir di salah satu negara Eropa. Hal
tersebut akan dinilai sebuah hal buruk. Dimana menurut individu tersebut hal
seperti itu dianggap sebagai ketidak setaraan gender. Tak jarang itu akan menimbulkan culture shock. Walaupun tidak semuanya seperti itu.
Kemudian dalam latar belakang proses adalah ketika individu
tersebut sudah mengalami asimilasi. Sebuah pertemuan dan penyesuaian dengan
cara berpikir, pola berpikir dan indikator-indikator yang berbeda-beda. Itulah yang
disebut sebagai pengalaman dan proses belajar. Yang akan menimbulkan suatu
penilaian yang baru.
Setiap individu manusia yang memiliki hati (perasaan-red)
dan lidah memiliki penilaian tersendiri dalam menilai suatu objek atau kejadian
tertentu. Kalau seperti itu maka individu atau kelompok satu tidak perlu memaksakan kebenaran menurut pandangannya kepada individu atau kelompok yang lain. Lalu kalau kebenaran dalam kehidupan itu berlandaskan persepsi dari
setiap individu, maka kebenaran yang memang benar-benar benar itu yang seperti
apa? Mungkin kita perlu bertanya dengan sesuatu hal yang menciptakan kehidupan
itu sendiri.
0 komentar