[Cerpen] Diam
Diam |
Siang itu di
sebuah halaman rumah yang cukup luas dan aman terlihat dua bocah laki-laki
sedang berlari dan bermain bersama. Lima atau enam tahun usia mereka
sepertinya. Menikmati masa anak-anak yang penuh canda tawa. Tidak ada raut
sedih yang nampak di wajah mereka. Hanya ada senyum dan tawa menggantung di
bibir kedua bocah itu.
Dilihatnya
sebuah putung rokok tergeletak di tanah dari seorang serdadu yang baru saja
membuangnya. Sebatang rokok yang sebelumnya menemani sang serdadu duduk
menunggu seorang penjahit menyelesaikan pesanannya.
Sebuah
bangunan dari kayu dan bambu yang cukup tua itu menjadi ladang untuk
mencari rejeki bagi penjahit yang sudah tak muda lagi. Ditemani kursi panjang
dari kayu untuk duduk pelanggan, si penjahit sudah bisa membuka lapaknya di
kesehariannya.
Bangunan tua
si pejahit dan rumah yang memiliki halaman cukup luas untuk bermain dua bocah
tadi terletak bersisian.
“Eh,
rokok-rokok!” dengan penuh kegirangan salah satu bocah itu berkata kepada bocah
lainnya. Rasa penasaran pun muncul dalam benak mereka berdua. Diambilnya putung
rokok itu dan perlahan-lahan mendekat ke bibir yang masih perjaka.
“Manis!
Enak-enak!” teriak salah satu bocah.
“Sini-sini,
aku juga pengen coba.”
“Nih!” bocah
itu memberikan rokok yg dianggap sudah menjadi miliknya ke bocah satunya.
Sebatang rokok itu kini dinikmati kedua mulut bocah itu. Bergilir dari satu
mulut ke mulut lainnya.
Sang serdadu
tertawa melihat pemandangan yang sedang dilihatnya. Dengan lucunya dia
memamerkan kepada si penjahit. Si penjahit tersenyum sekedar membalas
pernyataan dari sang serdadu. Tapi tetap diam menghiraukan. Kedua bocah itu
menghiraukan mereka para orang tua yang sedang tertawa, sang serdadu dan si
penjahit. Walaupun masih nampak rasa malu-malu dalam raut wajah kedua bocah
itu.
0 komentar